pendidikan
Kamis, 07 November 2024 11:00 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA - Pemerintah Republik Indonesia kini terus berusaha menekan angka pengangguran. Namun, nyatanya salah satu kelompok yang masih mendominasi data pengangguran adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Meskipun SMK sering disebut-sebut mampu mencetak lulusan yang siap bekerja, fakta justru menunjukkan pada tahun 2024, angka pengangguran lulusan SMK masih tinggi, bahkan lebih besar dibandingkan tingkat pengangguran lulusan SD-SMP-SMA.
Sebagai informasi, tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia menunjukkan tren penurunan pada tahun 2024, dengan jumlah pengangguran per Agustus mencapai 7,47 juta orang.
Angka ini mengalami penurunan sebesar 390 ribu orang dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun tren penurunan ini menjadi berita baik, tantangan terbesar masih dihadapi oleh lulusan SMK, yang mencatat TPT tertinggi, mencapai 9,01%.
Pengangguran di kalangan lulusan SMK menempati posisi tertinggi dibandingkan tingkat pendidikan lain, seperti lulusan SD dengan TPT 2,32%, lulusan SMP 4,11%, dan lulusan SMA 7,05%.
"Dibandingkan dengan Agustus 2023, penduduk bekerja berpendidikan SD ke bawah, Sekolah Menengah Pertama mengalami penurunan, masing-masing sebesar 1,02 persen poin, 0,15 persen poin," papar Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala BPS, Amalia A. Widyasanti di Jakarta, dikutip Rabu 6 November 2024.
Selain itu, lulusan pendidikan diploma (D1/D2/D3) memiliki TPT 4,83%, sedangkan lulusan perguruan tinggi (D4/S1/S2/S3) mencatatkan TPT 5,25%.
Ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan SMK dengan kebutuhan dunia kerja menjadi salah satu penyebab tingginya angka pengangguran ini, yang menyoroti kebutuhan akan pembaruan kurikulum dan peningkatan kompetensi yang lebih relevan dengan industri.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan tingginya pengangguran di kalangan lulusan SMA. Berikut beberapa permasalahan utama yang dihadapi lulusan SMK dalam memasuki dunia kerja.
Permasalahan terbesar yang dihadapi lulusan SMK adalah ketidaksesuaian antara keterampilan yang mereka pelajari dengan kebutuhan industri. Banyak SMK di Indonesia belum mampu menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan zaman dan tuntutan pasar.
Banyak lulusan SMK saat ini tidak menyediakan keterampilan yang relevan dengan dunia usaha, membuat lulusan kesulitan untuk diterima kerja. Akibatnya, lulusan SMK yang diharapkan memiliki kemampuan praktis justru tidak mampu memenuhi kebutuhan industri yang terus berkembang.
Penyesuaian kurikulum SMK menghadapi kendala karena adanya ego sektoral yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari lembaga pendidikan hingga pemerintah daerah.
Akibatnya, proses perubahan kurikulum berjalan lambat. Padahal, kurikulum yang kaku hanya akan membuat lulusan SMK semakin tertinggal dan tidak siap kerja di tengah persaingan global.
Tidak semua SMK di Indonesia dikelola oleh pemerintah, banyak yang dikelola yayasan swasta. Sayangnya, beberapa SMK swasta ini memiliki kapasitas yang terbatas dalam mengembangkan kurikulum atau meningkatkan kualitas tenaga pengajar sesuai dengan kebutuhan industri.
Keterbatasan ini membuat lulusan dari SMK swasta menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan.
SMK juga menghadapi tantangan ketersediaan guru produktif yang memiliki keterampilan di bidang kejuruan. Banyak SMK justru memiliki lebih banyak guru normatif, seperti pengajar mata pelajaran agama, bahasa, atau sosial, daripada guru dengan keahlian teknis yang dibutuhkan industri.
Hal ini menyebabkan lulusan SMK tidak memiliki keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Melihat permasalahan ini, pemerintah sebenarnya sudah mengambil langkah-langkah tertentu untuk membantu meningkatkan daya saing lulusan SMK. Sebenarnya Mantan Menteri Ketenagakerjaan pada Kabinet Presiden Jokowi di periode pertama, Hanif Dhakiri, selama menjabat telah mengusulkan pendirian SMK percontohan.
SMK ini fokus pada kebutuhan tenaga kerja lokal, misalnya, SMK yang berfokus pada industri furniture di daerah dengan potensi tersebut. Dengan fokus pada kebutuhan lokal, pemerintah berharap lulusan SMK dapat lebih mudah terserap kerja.
"Maka akan terjadi ketimpangan dan problem investasi, misal investor masuk ke Sukabumi membutuhkan 100 orang yang memiliki standar internasional. Apa akan ketemu? Saya jamin ketemu tetapi mungkin 1, 2 atau 3 orang saja," terang Hanif saat itu.
Kala itu Hanif juga mengusulkan solusi jangka panjang untuk permasalahan SMK ini, yakni dengan meningkatkan akses dan kualitas pelatihan vokasional di SMK, serta memastikan penyebaran pelatihan yang merata di berbagai daerah.
Pelatihan vokasional ini diharapkan dapat mengurangi ketimpangan tenaga kerja terampil, terutama di daerah-daerah yang membutuhkan tenaga kerja sesuai investasi yang masuk. Dengan begitu, setiap daerah dapat memiliki sumber daya manusia yang siap kerja dan berkualitas.
Untuk pemerintahan kali ini, belum ada rencana kebijakan khusus yang menyasar SMK. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, masih berkutat dengan evaluasi kurikulum, pelaksanaan Ujian Nasional hingga zonasi.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 07 Nov 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 07 Nov 2024
22 hari yang lalu