taman nasional komodo
Kamis, 02 Oktober 2025 14:47 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Bali merupakan provinsi dengan wilayah terkecil di antara 34 provinsi di Indonesia. Secara geografis, pulau ini berada pada koordinat 8°25′23′′ Lintang Selatan dan 115°14′55′′ Bujur Timur, sehingga beriklim tropis layaknya daerah lain di Nusantara.
Provinsi Bali berbatasan langsung dengan Nusa Tenggara Barat di sebelah timur, Jawa Timur di bagian barat, serta Samudra Hindia di selatan dan Laut Bali di utara. Menurut jurnal berjudul Analisis Isu Sampah Plastik Laut di Wilayah Pesisir Pantai Kuta Bali Menggunakan Metode DPSIR, kunjungan wisatawan ke Bali kembali meningkat pasca pandemi COVID-19, seiring dengan reputasinya sebagai salah satu destinasi wisata dunia.
Meski sektor pariwisata memberikan kontribusi besar terhadap pemulihan ekonomi setempat, overtourism mulai menimbulkan berbagai dampak negatif, baik secara lingkungan maupun sosial.
Salah satu masalah dari pariwisata di Bali adalah kenaikan harga sewa tanah dan properti, serta perubahan fungsi ruang tradisional menjadi area komersial. Pergeseran ini tidak hanya mengakibatkan tergesernya masyarakat lokal, tetapi juga mengancam kelestarian budaya Bali yang unik.
Plastik menjadi masalah utama dalam sampah laut, dan pada tahun 2013, Indonesia menghasilkan sekitar 1,9 juta ton plastik. Sebagian besar plastik ini berakhir mencemari laut, dengan sekitar 165 ton per tahun tersebar di perairan Indonesia.
Faktor yang mendorong munculnya masalah sampah plastik di perairan Pantai Kuta meliputi pertumbuhan penduduk, tingkat kesejahteraan, dan kondisi geografis Kabupaten Badung.
Masalah sampah meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, karena pertumbuhan ini memicu berkembangnya kegiatan usaha di masyarakat sehingga menghasilkan lebih banyak sampah. Selain itu, peningkatan jumlah penduduk juga dapat mengubah gaya hidup masyarakat menjadi lebih konsumtif.
Pantai Kuta di Kabupaten Badung, Bali, menghadapi masalah serius akibat meningkatnya jumlah sampah. Kondisi ini dipicu oleh pertumbuhan penduduk yang cepat, perkembangan teknologi, serta tingginya aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi di wilayah tersebut.
Pertambahan penduduk dan intensitas konsumsi masyarakat diperkirakan akan terus menambah produksi sampah. Masalah utama muncul ketika sampah dari darat terbawa ke laut, membentuk sampah laut atau marine debris, dengan sungai sebagai jalur utama pengangkutannya.
Dalam kasus sampah plastik di laut, terdapat hubungan antara jumlah penduduk dengan timbulan sampah. Semakin tinggi angka pertumbuhan dan kepadatan penduduk, semakin besar jumlah sampah yang dihasilkan, sehingga timbulan sampah meningkat seiring pertambahan penduduk.
Adapun, kawasan wisata di Kabupaten Badung, khususnya Bali, menghadapi masalah serius akibat meningkatnya volume sampah. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang pesat, perkembangan teknologi, serta meningkatnya kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.
Kondisi tersebut menyebabkan produksi sampah melonjak, yang berdampak negatif pada lingkungan, terutama ketika sebagian sampah terbawa hingga ke laut.
Berdasarkan data, Bali memproduksi sekitar 4.281 ton sampah setiap hari, di mana 11% dari jumlah tersebut akhirnya masuk ke laut. Sebagian besar sampah, sekitar separuhnya berasal dari tiga wilayah utama, yakni Denpasar, Gianyar, dan Badung.
Sampah yang berasal dari darat ini terbawa ke laut dan menjadi bagian dari sampah laut atau marine debris. Proyeksi menunjukkan bahwa produksi sampah akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk dan meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat.
Lonjakan jumlah sampah di pesisir Pantai Kuta disebabkan oleh banyaknya penduduk menggunakan produk plastik dalam kegiatan sehari-hari. Pada 2018, timbulan sampah di kawasan ini mencapai 281 m³ per hari, dan data menunjukkan tren peningkatan dari 2018 hingga 2022.
Berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), selama lima tahun hingga 2022, jumlah sampah plastik diperkirakan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan aktivitas pariwisata.
Hal ini menegaskan pemakaian produk plastik dalam kehidupan sehari-hari menjadi faktor utama meningkatnya timbulan sampah di wilayah tersebut. Sampah laut menimbulkan dampak serius bagi lingkungan, terutama terhadap kelangsungan hidup biota laut melalui berbagai mekanisme penting.
Dampak tersebut meliputi masuknya sampah ke sistem pencernaan hewan laut, terjebaknya organisme oleh plastik, sifat toksik sampah, ketersediaan zat berbahaya (bioavailability), serta berkurangnya tempat berlindung bagi fauna laut.
Kondisi ini membuat biota laut lebih rentan terhadap kematian, yang pada akhirnya dapat mengancam kelestarian ekosistem laut.
Sampah plastik di laut tidak hanya membahayakan hewan laut, tetapi juga dapat merusak terumbu karang. Sekitar 89% terumbu karang yang bersentuhan dengan sampah plastik berisiko terkena penyakit. Hal ini terjadi karena sampah plastik menyediakan permukaan bagi mikroba patogen untuk berkembang.
Saat sampah plastik bergerak di perairan, mikroorganisme berbahaya seperti bakteri dan virus dapat menempel dan berkembang, menyebabkan penyakit pada terumbu karang.
Keberadaan sampah plastik menciptakan kondisi yang mendukung pertumbuhan dan penyebaran mikroorganisme berbahaya, sehingga berdampak negatif pada struktur dan kesehatan ekosistem laut secara keseluruhan.
Penanganan isu ini menjadi semakin penting karena dampaknya yang merugikan ekosistem laut dan sektor pariwisata. Diperlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta untuk menekan produksi sampah dan meningkatkan sistem pengelolaannya.
Langkah konkret seperti kampanye edukasi, program daur ulang, peningkatan infrastruktur pengelolaan sampah, serta pengawasan ketat terhadap pembuangan sampah ilegal dapat menjadi solusi efektif.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 30 Sep 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 02 Okt 2025
7 hari yang lalu
23 hari yang lalu