Korupsi
Selasa, 22 Juli 2025 14:43 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Menjalani kehidupan mewah tak hanya berarti menetap di hunian yang besar. Setiap aspek tempat tinggal dirancang secara menyeluruh demi menghadirkan kenyamanan optimal dan estetika yang memikat. Bayangkan sebuah properti luas di lokasi premium, dengan desain arsitektur menawan, interior yang disesuaikan secara personal, serta dilengkapi karya seni dan teknologi mutakhir.
Gaya hidup ini juga mencakup kehadiran staf profesional seperti asisten rumah tangga, koki pribadi, dan kepala pelayan yang memastikan semua kebutuhan rumah tangga terpenuhi dan kehidupan sehari-hari berjalan dengan lancar serta menyenangkan.
Gaya hidup mewah mencerminkan kemewahan dan kualitas hidup yang tinggi, di mana setiap pengalaman bersifat eksklusif, setiap produk memiliki keistimewaan tersendiri, dan setiap layanan disesuaikan secara personal.
Gaya hidup ini menempatkan individu di tengah-tengah segala sesuatu yang terbaik, dirancang khusus untuk memenuhi selera pribadi mereka.
Hal ini mencakup hunian eksklusif, perjalanan kelas atas, hidangan gourmet, serta akses ke mode dan hiburan premium, semuanya disusun secara cermat untuk menciptakan pengalaman hidup yang mulus, mewah, dan memuaskan bagi mereka yang memiliki selera tinggi.
Gaya hidup mewah di kalangan pejabat juga menjadi sorotan dan bahan perbincangan masyarakat Indonesia.
Kemewahan dalam kehidupan para pejabat terlihat dari kebiasaan menampilkan barang-barang mewah dalam aktivitas sehari-hari, seperti menggunakan pakaian dari merek ternama, mobil mahal atau aksesori eksklusif lainnya.
Fenomena ini memunculkan keraguan mengenai asal-usul kekayaan serta komitmen para pejabat terhadap nilai-nilai integritas, padahal sejatinya mereka dituntut untuk menjalankan tugas dengan sikap sederhana dan penuh tanggung jawab.
Dilansir dari IBEC FEB UI, gaya hidup mewah yang dipertontonkan pejabat pemerintah menunjukkan minimnya empati terhadap situasi masyarakat kurang mampu di Indonesia, serta berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
Padahal, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kesejahteraan seluruh rakyat, termasuk memperkecil kesenjangan ekonomi dan menciptakan keadilan sosial bagi semua lapisan masyarakat.
Terlebih gaya hidup mewah para pejabat yang tidak sebanding dengan pendapatan resmi mereka, hal tersebut kerap memicu kemarahan rakyat. Situasi ini menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas guna mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang serta menjaga kepercayaan publik.
Setya Novanto dikenal kerap menampilkan gaya hidup yang serba mewah, seperti memakai jam tangan berharga fantastis, mengoleksi barang-barang mewah, dan tampil dengan gaya yang glamor, meski pendapatannya sebagai pejabat negara seharusnya terbatas.
Gaya hidup mewahnya semakin menuai sorotan publik setelah ia tersandung korupsi e-KTP yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun.
Tindakan memamerkan kemewahan tersebut memicu kemarahan masyarakat, mengingat dana yang disalahgunakan seharusnya dialokasikan untuk program-program publik yang bermanfaat bagi orang banyak.
Selain Setya Novanto, gaya hidup mantan pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo juga menjadi sorotan. Gaya hidup mewahnya dianggap tidak sejalan dengan statusnya sebagai aparatur negara saat masih menjabat.
Ia diketahui memiliki properti mewah berupa rumah besar dan kendaraan mahal, sementara anakna sering menampilkan kemewahan di media sosial. Kemarahan masyarakat semakin memuncak setelah kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya membuka dugaan korupsi dalam skala besar.
Dilansir dari ugm.ac.id, Sosiolog UGM Dr. Andreas Budi Widyanta, S.Sos., M.A., mengungkapkan gaya hidup mewah yang dipertontonkan salah satu pejabat Ditjen Pajak merupakan gambaran dari fenomena gunung es. Praktik serupa diduga masih marak terjadi di kalangan pejabat lainnya.
Dia mengatakan, zaman sekarang gaya hidup yang menjadikan aspek-aspek materialisme sebagai indikator seseorang memiliki gaya hidup yang lebih tinggi dibandingkan orang lain.
Akibatnya, pengumpulan kekayaan material dijadikan sebagai cara untuk menegaskan eksistensi diri dan memperlihatkan status sebagai bagian dari kelas sosial elite yang berbeda dari masyarakat pada umumnya.
Banyak orang yang akhirnya terjerumus dalam jebakan besar liberalisasi ekonomi, budaya konsumtif, dan pola hidup mewah.
Ia menyatakan praktik gaya hidup yang bersifat kompetitif dan berlomba mengejar kelas elite yang diglorifikasi tanpa disadari justru mengingkari kehidupan bersama sebagai warga negara.
“Ini menjadi bentuk pengkhianatan solidaritas hidup bersama sebagai bangsa-negara,” jelasnya.
Tak seperti pejabat lainnya, Mantan Mendag Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong yang memiliki harta fantastis ternyata tak memiliki rumah pribadi.
Tom dilaporkan memiliki total kekayaan sebesar Rp101,4 miliar. Jumlah kekayaan tersebut tercatat saat ia masih menjabat sebagai Kepala BKPM pada periode 2019–2020, dan dilaporkan oleh lulusan Harvard University tersebut.
Sebagian besar kekayaan Tom berasal dari surat berharga yang nilainya mencapai Rp94,5 miliar. Selain itu, ia juga memiliki aset berupa kas dan setara kas senilai lebih dari Rp2 miliar, harta lainnya sebesar Rp4,7 miliar, serta harta bergerak lainnya senilai Rp180,9 juta.
Sementara, Tom juga memiliki utang sebesar Rp86,8 juta. Dengan demikian, total kekayaan bersihnya mencapai Rp101,4 miliar.
Dalam keteranan laporan kekayaan milik Tom Lembong, diketahui ia tidak tercatat memiliki aset berupa tanah, bangunan, maupun kendaraan. Dari fakta tersebut artinya Tom tidak memiliki hunian atau rumah pribadi atas nama sendiri.
Jubir Anies Baswedan Angga Putra F dalam cuitan Twitter (X) @AnggaPutraF mengungkapkan, Tom pernah menjelaskan alasan dirinya tidak memiliki rumah pribadi dan memilih tinggal di tempat sewaan. Menurut Tom, pilihan tersebut memberikan kemudahan baginya jika sewaktu-waktu harus dipindahtugaskan ke lokasi lain.
Adapun, menurut pengacara Tom, Zaid Mushafi, Tom memang tak memiliki aset berupa tanah maupun kendaraan.
“Untuk LHKPN memang pada faktanya, Pak Tom ini tidak memiliki aset berupa tanah dan mobil,” ujarnya, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 4 November 2024.
Zaid menjelaskan, Tom merupakan seorang pebisnis dan investor yang memiliki berbagai surat berharga. Sebagai pebisnis, bagi Tom aset terpenting adalah surat berharga bukan tanah atau kendaraan yang berisiko mengalami penurunan.
Namun baru-baru ini Tom dijatuhi hukuman penjara selama 4,5 tahun serta denda sebesar Rp750 juta terkait kasus korupsi impor gula, meskipun majelis hakim menyatakan Tom tidak menerima keuntungan pribadi dari tindak korupsi tersebut.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 21 Jul 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 22 Jul 2025
5 bulan yang lalu