ATR/BPN
Rabu, 09 Juni 2021 22:08 WIB
Penulis:Sutan Kampai
Kementerian Pertahanan menggulirkan rencana pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) senilai Rp1.750 triliun. Pengadaan Alutsista ini bakal dilakukan melalui perusahaan yang didirikan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.
Anggaran jumbo ini diajukan Prabowo di tengah beratnya beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai penanganan COVID-19.
Usai diajukan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kemenhan bakal melakukan realisasi belanja Alutsista melalui PT Teknologi Militer Indonesia (PT TMI). Berdasarkan akta pendirian perusahaan, PT TMI didirikan pada 14 Agustus 2020 dan berstatus sebagai perseroan tertutup.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan mengatakan pendirian perusahaan ini sarat akan kejanggalan. Menurutnya, pendirian perusahaan berstatus swasta membuat pengawasan terhadap penggunaan anggaran sulit ditembus pemerintah.
“Ini mengerikan, perusahaan ini didirikan oleh Menteri dan statusnya swasta. Ditambah fungsinya yang bakal berhubungan langsung dengan pengadaan di Kementerian pertahanan saja, patut dipertanyakan,” kata Adnan dalam diskusi virtual, Rabu, 9 Juni 2021.
Apalagi, jajaran pengurus PT TMI ini sangat lekat dengan orang-orang di sekitar Prabowo Subianto. Menurut penelusuran TrenAsia.com, sejumlah direksi dan komisaris memang memiliki hubungan dekat dengan ketua umum partai Gerindra ini.
Komisaris Utama: Glenny Kairupan
Komisaris:
Angga Raka Prabowo
Judi Magio Yusuf
Nugroho Widyotomo
Prasetyo Hadi
Direktur Utama: Harsusanto
Direktur:
Tony Setia Boedi Hoesodo
Wicaksono Aji
Mundasir
Satrio Dimas Aditya
Empat jajaran pengurus, antara lain Glenny Kairupan, Yugi Mugio yusuf, Prasetyo Hadi, dan Angga Raka Prabowo merupakan kader Partai Gerindra. Seperti diketahui, Menhan Prabowo tercatat masih menjabat sebagai Ketua Umum Gerindra hingga 2025.
“Dengan kewenangan apa seorang Menteri bisa mendirikan perusahaan dan menunjuk langsung jajarannya, ini kebijakan yang koruptif” ucap Adnan.
Kebijakan ini dinilai Adnan menyalahi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Berpotensi Wariskan Utang
Rencana belanja jumbo Kemenhan terungkap dalam Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kemenhan 2020-2024.
Mengacu kepada Raperpres tersebut, secara rinci, anggaran itu paling banyak dialokasikan untuk akuisisi Alpalhankam sebesar US$79,1 miliar atau Rp1.132 triliun (asumsi kurs Rp14.318 per dolar Amerika Serikat).
Lalu, pos belanja bakal bermuara di pembayaran bunga tetap selama Rencana Strategis (Renstra) sebesar US$13,39 miliar atau Rp191,72 triliun dan dana kontijensi yang mencakup pemeliharaan serta perawatan Alpalhankam US$32,51 miliar atau Rp465,5 triliun.
Selain pelaksanaan yang lekat dengan potensi korupsi, pengadaan alutsista ini dinilai membebani APBN. Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menyebut bila anggaran Alutsista diborong Prabowo, Indonesia terancam tidak bisa membeli persenjataan lagi hingga 2044.
Padahal, rasio anggaran pertahanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia periode 2009-2020 stabil di angka 2,3% hingga 2,4%. Praktis, lonjakan anggaran dalam waktu singkat ini memerlukan penarikan utang untuk realisasi belanja Kemenhan tersebut.
Hal ini lah yang semakin memperburuk kondisi utang pemerintah. Kemenkeu mencatat rasio utang terhadap PDB Indonesia telah menyentuh 41% pada April 2021. Bila Kemenhan ngotot cari utang, Berly mengatakan, hal itu bisa berimplikasi terhadap tax ratio Indonesia yang makin tertekan.
“Kalau penerimaan pajak lebih tinggi, maka lebih banyak yang bisa dialokasikan untuk semua item termasuk ke defense atau alutsista. Sehingga, tahapan yang umum yaitu naikkan dulu penerimaan, baru lebih banyak dialokasikan lagi ke sektor-sektor yang dianggap prioritas atau tertinggal,” kata Berly dalam kesempatan yang sama.
Selain itu, belanja Menhan Prabowo ini berpotensi meninggalkan warisan utang yang harus ditangani penerusnya dalam jangka panjang. Menurut Berly, Untuk mendapatkan bunga pinjaman di bawah 1%, pemerintah perlu menarik utang dengan tenor minimal 28 tahun.
“Jadi walau pun bunga kecil dan dicicil tetap membebani. Utang itu mesti dilihat dari nilainya juga, jangan hanya proporsi saja serta penting bagi transparansi dan akuntabilitas karena bagaimana pun ini uang publik,” ujar Berly.
Dampak Realisasi Belanja Asal-Asalan
Tidak cukup sampai di sana, sengkarut belanja Kemenhan ini masih memiliki masalah bahkan sebelum belanja ini diajukan. Ketua Centra Initiative dan Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Al A’raf mengungkap anggaran jumbo ini tercetus akibat belanja persenjataan bekas pemerintah sejak 2007.
“Sebanyak 50% persenjataan Indonesia itu sudah tidak layak pakai, perlu pembaharuan memang, Karena saat dahulu kita terbiasa membeli senjata bekas negara lain,” kata Al A’raf.
Alutsista bekas diklaim Al A’raf memakan biaya besar dalam pemeliharaannya. Untuk beberapa alat saja, biaya pemeliharaan Alutsista bekas mencapai Rp1 triliun. Selain itu, senjata bekas dinilainya memiliki waktu pakai yang sangat singkat.
“Saat itu di 2000-an Jerman dan Rusia menawarkan Alutsista yang bisa dipakai 20-25 tahun, tapi Indonesia lebih memilih yang bekas,” ujar Al A’raf.
Besarnya beban biaya perawatan membuat Kemenhan kesulitan melakukan pengadaan Alutsista baru. Padahal, Kemenhan masuk ke dalam tiga besar dengan pagu anggaran belanja tertinggi di antara semua Kementerian/Lembaga (K/L).
Menurut catatan Kemenkeu, anggaran Kemenhan tercatat selalu naik dari Rp115,4 triliun pada 2019 menjadi Rp117,9 pada 2020. Di tahun ini, anggaranya pun melesat menjadi Rp137,3 triliun.
Anggaran tinggi ini pun tidak terserap secara optimal oleh Kemenhan. Menurut Al A’raf, belanja di Kemenhan selalu tersisa 20%-30% dalam beberapa tahun terakhir. Ketidakmampuan mengelola postur anggaran ini yang menjadikan Kemenhan yang membuat Al A’raf ragu dana jumbo itu bakal terkelola secara maksimal.
“Jadi dari sisi anggaran sebenarnya naik terus per tahun. Tapi yang saya bingung, anggaran besar saja tidak pernah terserap 100%, tapi tetap meminta anggaran besar dan sekarang berencana mengutang,” ujarnya. (TrenAsia.com)