Indonesia
Jumat, 14 Juni 2024 14:12 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Baru-baru ini tersebar video di media sosial yang menunjukkan tiga orang anggota suku Tobelo Dalam, atau yang juga dikenal sebagai suku Togutil mendatangi area pertambangan di Halmahera. Biasanya suku ini tinggal di pedalaman hutan Halmahera.
Dugaan sementara kedatangan satu pria dan dua wanita untuk meminta makanan kepada para pekerja tambang yang sedang melakukan aktivitasnya di hutan Halmahera. Sontak, mereka langsung diajak oleh para pekerja untuk makan di sebuah warung tenda.
Sebenarnya siapa itu suku Togutil? Yuk, simak artikel berikut!
Berikut beberapa fatka menarik terkait suku Togutil:
Suku Togutil dikenal sebagai kelompok etnis yang tinggal di pedalaman hutan Halmahera, Maluku Utara. Kehidupan mereka masih sangat terpencil dan terisolasi dari dunia luar.
Suku Togutil juga dikenal sebagai suku Tobelo Dalam. Mereka biasanya tinggal di hutan Halmahera Timur. Kehidupan mereka masih sederhana dan jauh dari teknologi, namun mereka tetap menjaga nilai-nilai tradisionalnya.
Suku Togutil menggantungkan hidupnya pada hutan. Akibatnya, mereka menjalani pola hidup nomaden, berpindah-pindah di pedalaman hutan Halmahera.
Dikutip dari jurnal “Kebiasaan Belajar Anak Dalam Keluarga Suku Togutil Halmahera Timur” oleh Wawan Suprianto, dkk dari Universitas Negeri Malang, mata pencaharian suku ini meliputi berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, serta memanfaatkan sagu sebagai sumber makanan utama.
Jika persediaan mereka mulai menipis, suku Togutil biasanya akan pindah ke daerah baru. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mereka sering berpindah-pindah tempat tinggal.
Lelaki suku Togutil melakukan berbagai aktivitas seperti mengumpulkan sagu, mencari getah damar dan gaharu, berburu babi dan rusa, serta menangkap ikan di sungai. Selain itu, mereka juga aktif berkebun dengan menanam pohon pisang, ubi kayu, ubi jalar, pepaya, dan tebu, meramu sagu dan buah-buahan.
Sementara itu, perempuan suku Togutil biasanya tinggal di rumah, meramu hasil buruan para lelaki, dan membersihkan kebun.
Dalam berkomunikasi, masyarakat suku Togutil biasanya menggunakan bahasa Tobelo, sama seperti yang digunakan oleh penduduk pesisir, yaitu orang Tobelo.
Suku Togutil percaya pada keberadaan roh yang mendiami seluruh alam lingkungan. Kepercayaan ini merujuk pada Jou Ma Dutu, pemilik alam semesta, yang juga disebut o-gokiri-moi yang berarti jiwa atau nyawa. Selain itu, mereka meyakini bahwa roh orang yang telah meninggal tetap tinggal di rumah dan terus mengawasi serta melindungi keturunannya.
Oleh karena itu, suku Togutil sangat menjaga alam, terutama hutan, dan memanfaatkannya dengan bijak. Hasil hutan tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, tetapi juga sebagai obat-obatan tradisional.
Suku Togutil juga mempertahankan nilai-nilai tradisional mereka, termasuk aturan terkait pengelolaan hutan. Bagi mereka, hutan adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga. Oleh karena itu, mereka sangat menjaga alam, terutama hutan, dan memanfaatkannya dengan bijak dalam kehidupan sehari-hari.
Suku Togutil masih sangat mempertahankan nilai-nilai tradisinya. Sejumlah kearifan lokal dan aturan yang berlaku di antara masyarakat suku ini berkaitan dengan pengelolaan hutan.
Bagi mereka, hutan dianggap sebagai anugerah Tuhan yang harus dijaga karena memberikan kehidupan bagi mereka. Pohon di hutan juga dianggap sebagai simbol kelahiran generasi baru.
Mereka percaya hutan adalah tempat tinggal roh para leluhur (o’gomanga), sehingga mereka sangat protektif terhadap hutan dan menerapkan larangan-larangan untuk melindunginya.
Salah satu tradisi terkenal dari suku Togutil adalah Bubugo. Bubugo melibatkan penempatan rumah-rumahan kecil sekitar 50 x 50 cm yang digantungkan di pohon, biasanya dengan sebuah botol yang diikat dengan kain kecil. Atau bisa juga dengan pohon tertentu yang memiliki penanda botol atau pita kecil, atau tanda khusus lainnya.
Penanda ini diletakkan di setiap sudut jalan menuju kawasan yang dilarang, baik itu kebun milik individu (Dumule) atau kebun milik bersama (Dumule ngone mata-mata).
Suku Togutil sangat mempertahankan nilai-nilai tradisional mereka, termasuk kebijakan pengelolaan hutan yang diatur oleh kearifan lokal mereka.
Apabila ada orang yang mencuri atau memanen tanpa izin dari pemilik kebun, pelaku akan mengalami sakit atau nasib buruk lainnya yang dapat membahayakan dirinya. Larangan ini berlaku tidak hanya bagi masyarakat Togutil sendiri, tetapi juga untuk masyarakat luar yang memasuki kawasan mereka.
Hal ini menunjukkan komitmen suku Togutil dalam melindungi hutan mereka dan memastikan pengelolaan yang berkelanjutan, sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
Tradisi dan larangan ini bertujuan untuk melindungi hutan dan perkebunan dari eksploitasi berlebihan, dengan mematuhi batas waktu yang telah ditentukan.
Rumah masyarakat Togutil umumnya terbuat dari kayu, bambu, dan beratap daun palem. Biasanya, rumah-rumah ini tidak memiliki dinding dan hanya berlantai papan.
Terdapat beberapa tipe rumah orang Togutil, mulai dari yang sederhana hingga yang lebih lengkap. Rumah sederhana terdiri dari sebuah gubuk besar yang di dalamnya terdapat balai sebagai tempat tidur, dapur berupa tungku, dan para-para untuk menyimpan makanan dan minuman bagi roh leluhur.
Rumah tipe sedang memiliki tambahan gubuk kecil khusus untuk dapur. Sementara, rumah tipe lengkap dilengkapi dengan gubuk lain sebagai tempat tidur orang dewasa dan tamu.
Suku Togutil masih ada hingga kini, namun keberadaan mereka di hutan Halmahera terancam oleh aktivitas berlebihan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap hutan tempat mereka tinggal.
Jika hutan ini terus digunduli atau dirusak, maka keberadaan suku ini akan terancam. Hutan adalah sumber utama kehidupan mereka, sehingga kerusakan hutan berdampak langsung pada keberlangsungan hidup mereka.
Itulah bebrapa fakta menarik seputar suku Togutil.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 01 Jun 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 14 Jun 2024