Israel
Selasa, 01 Maret 2022 19:15 WIB
Penulis:Sutan Marajo
Editor:Redaksi
Memanasnya geopolitik yang terjadi beberapa hari terakhir antara Rusia-Ukraina menjadi pemicu naiknya harga minyak dunia sehingga menjadi sejarah baru selama delapan tahun ini. Harga minyak mentah di pasar berjangka WTI kemarin Senin, 28 Februari 2022 ditutup di harga US$95,72 per barel.
Kekinian, harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) terus menunjukan tren kenaikan yang signifikan. Pada bulan Februari 2022 ICP dipatok naik 11,18% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi sebesar US$95,5 per barel.
Kenaikan harga minyak dunia tersebut disebabkan oleh adanya sentimen yang dikhawatirkan oleh para pedagang akibat pecahnya konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina, hal itu juga diperparah dengan sejumlah permasalahan yang dialami oleh negara-negara penghasil minyak dunia yang berakibat pada terhambatnya proses produksi hingga distribusi.
Melonjaknya harga minyak mentah dunia itu turut memberikan dampak yang juga luar biasa, khususnya bagi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Hal itu seperti yang dijelaskan oleh Pengamat Ekonomi dan Energi asal Universita Gajah Mada Fahmy Radhi kepada trenasia.com.
“Sebagai negara net importer, Indonesia tidak diuntungkan sama sekali atas kenaikan harga minyak tersebut. Bahkan, membumbungnya harga minyak itu justru merugikan dan memperberat beban APBN,” ujar Fahmy kepada trenasia.com dikutip Selasa, 1 Maret 2022.
Menurutnya, dalam kondisi keterpurukan akibat melonjaknya harga minyak mentah dunia saat ini, pemerintah tidak cukup jika hanya memantau perkembangannya saja, namun juga harus menyiapkan langkah antisipasi dan membuat proyeksi harga minyak sebagai dasar dalam mengambil keputusan terkait bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.
Kenaikan harga minyak dunia memberikan beban yang semakin berat kepada APBN, hal itu disebabkan karena meningkatnya harga minyak dunia membuat gap harga yang harus ditutup oleh pemerintah melalui subsidi antara harga minyak internasional dan harga jual kepada masyarakat pada BBM semakin besar.
Khususnya bagi jenis BBM yang disubsidi oleh pemerintah seperti Premium dan Pertalite yang sampai dengan saat ini masih belum dilakukan penyesuaian harga sejak melonjaknya harga minyak dunia di awal tahun.
Untuk mengurangi beban APBN yang semakin berat itu, Fahmy menyarankan agar pemerintah melakukan sejumlah langkah kebijakan terhadap harga BBM. Langkah tersebut di antaranya adalah dengan menaikan harga pada pertamax sesuai dengan harga pasar, hingga opsi penghapusan BBM berjenis premium.
“Pemerintah harus memutuskan kebijakan terhadap harga BBM. Kebikan itu meliputi: (1) menaikkan harga Pertamax sesuai harga pasar, (2) menghapus Premium yang subsudi content tinggi, (3) tidak menaikan harga Pertalite dengan mengalihkan subsidi Premium sehingga harga Pertalite tidak dinaikkan.” terang Fahmy kepada Trenasia.com.
Fahmy menilai bahwa kenaikan harga pada Pertalite akan memiliki dampak domino yang berujung pada kenaikan inflasi dan menurunkan daya beli oleh rakyat. Hal itu ditenggarai karena jumlah konsumen BBM terbesar dengan proprosi hingga mencapai 63% dari seluruh jenis BBM yang ada saat ini.
“Kenaikan harga Pertalite akan punya dampak domino menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli rakyat. Pasalnya, jumlah konsumen BBM terbesar dg proposi mencapai 63%,” tutupnya.