Berita Padang
Selasa, 25 Mei 2021 21:51 WIB
Penulis:Sutan Kampai
Asma merupakan penyakit gangguan pernapasan pada saluran udara yang membuat pengidapnya sulit bernapas. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peradangan saluran udara, sehingga terjadi penyempitan saluran udara sementara dan gangguan oksigen yang masuk ke paru-paru.
Dokter Spesialis Paru di Semen Padang Hospital (SPH) Dr.dr. Masrul Basyar , Sp.P (K) FISR mengungkapkan, penyempitan saluran pernapasan (hiperaktifitas bronkus) yang terjadi, menghasilkan gejala asma secara umum seperti sesak napas, batuk, dan sesak dada. Jika dalam kondisi yang parah, asma dapat mengganggu aktivitas dan ketidakmampuan untuk berbicara.
"Penyakit ini juga dapat membatasi kemampuan seseorang untuk berolahraga dan aktif. Selain itu, asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan penderitanya medapatkan beberapa kunjungan ke ruang gawat darurat hingga rawat inap di rumah sakit," jelas dokter Masrul.
Ia mengungkapkan, untuk memastikan diagnosis asma, dokter akan melakukan serangkaian pemeriksaan. Dimulai dari wawancara pasien dengan mengajukan pertanyaan seputar gejala yang dirasakan, seperti kapan gejala tersebut muncul beserta frekuensinya, apakah sesak napas disertai nyeri dada, serta riwayat penyakit keluarga.
Sementara untuk mengetahui adanya alergi pada pengidap asma, dokter akan melakukan tes seperti menyuntikkan beberapa alergen dan mengukur ukuran benjolan merah yang ditimbulkan setelah 20 menit. Dokter juga akan melakukan tes darah IgE atau sIgE.
Selain gejala umum seperti yang disebutkan di atas, Dokter Masrul menjelaskan tentang gejala utama bagi penderita asma antara lain batuk, rasa tertekan dada, mengi(sesak napas) yang bersifat periodik dan bervariasi Kemudian ada juga gejala tambahan diataranya rhinitis (Iritasi dan pembengkakan selaput lendir di hidung) atau atopi (Inflamasi gatal pada kulit) dan lainnya.
Ia mengungkapkan, penyebab penyakit asma biasanya disebabkan oleh faktor penjamu (adanya interaksi antara agen atau faktor penyebab penyakit) seperti predisposisi genetik, atopi, hiperresponsif jalan napas, inflamasi jalan napas, jenis kelamin, ras/genetik, obesitas, depresi.
Menurutnya, asma tidak terjadi akibat gaya hidup pada orang yang tidak memiliki faktor genetik asma. Asma dipicu oleh faktor genetik namun juga dapat dipengaruhi lingkungan.
Untuk pengobatan bagi penderitanya, Dokter Masrul mengatakan bahwa tidak semua penderita asma harus dirawat di rumah sakit. Pasien asma yang dirawat di rumah sakit, lanjutnya, biasanya merupakan pasien asma dalam serangan dengan infeksi sekunder (misalnya infeksi bakteri).
"Untuk itu, seseorang yang menderita asma harus melakukan pengontrolan asmanya dengan baik (pasien harus konsultasi dengan dokter) dan perlu pencegahan faktor risiko lingkungan yang memicu untuk serangan eksaserbasi asma, dan menjalani pola hidup sehat seperti olahraga teratur dan makan makanan bergizi" ujarnya.
Kemudian dalam terapi dan pengobatannya, jika di IGD (saat pasien dalam serangan), dokter akan melakukan nebulisasi (pengasapan) untuk membantu saluran pernapasan pasien. Sementara jika di Poli, (saat pasien dalam kondisi stabil), dokter akan menganalisa dan melakukan assessment tingkat kontrol asma pasien sehingga terapi dapat diberikan sesuai dengan derajat keparahan penyakit.
Ia juga menjelaskan, ada beberapa cara penilaian sederhana untuk mengetahui asma penderitanya terkontrol atau tidak, yaitu dengan menggunakan pelangi asma atau Asma Control Test (ACT). (Penjelasan nanti akan disertai gambar)
Selanjutnya, secara khusus ada 2 tatalaksana asma stabil untuk pasien yakni:
a. Farmakologis (obat obatan): terdiri dari obat2an saat serangan dan obat2an yang diminum rutin untuk mencegah serangan asma muncul kembali
b. Non farmakologis: Meningkatkan kebugaran tubuh, berhenti dan tidak pernah merokok, hindari paparan lingkungan kerja yang memicu eksaserbasi asma.
Dokter Masrul melanjutkan, penyakit asma tidak bisa disembuhkan atau hanya bisa direda. Karena itu, untuk mengantisipasi kondisi semakin parah, maka penderitanya wajib menghindari faktor-faktor pemicu untuk eksaserbasi (serangan) seperti faktor lingkungan.
"Biasanya, dokter akan merekomendasikan inhaler sabagai pengobatan saat gejala asma muncul. Terapi inhalasi merupakan cara pemberian obat dalam bentuk aerosol dan langsung ke target organ di saluran napas," terangnya.
Dokter Masrul juga memberikan tips dan saran untuk menjaga kesehatan bagi penderita penyakit asma, terutama di masa pandemi yakni jangan tinggalkan obat asma. Orang dengan penyakit asma masih dapat menurunkan risiko infeksi atau mengembangkan komplikasi Covid-19 yang serius. Poin pentingnya, terus gunakan inhaler asma setiap hari sesuai resep.
"Ini akan membantu mengurangi risiko serangan asma yang dipicu oleh virus pernapasan, termasuk virus corona. Pastikan kita memiliki persediaan obat asma yang cukup , termasuk inhaler perawatan dan penyelamatan," tambahnya.
Kemudian ia juga mengimbau agar penderita asma dapat mengelola stress. Dokter Masrul mengungkapkan, stres juga dapat menghambat sistem kekebalan tubuh dan orang-orang dengan asma bisa sangat stres mengetahui risiko mereka terkena komplikasi Covid-19 dapat meningkat sehingga kecemasan dapat menyebabkan serangan asma, atau memperburuknya setelah kita terkena asma.
"Pasien biasanya tahu faktor atau alaergen pemicu asma mereka. Dengan menyadari hal tersebut dapat membantu mereka dalam mengelola atau bahkan menghindari serangan asma" tuturnya. (rilis)