Ekonomi
Kamis, 31 Oktober 2024 16:56 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Baru-baru ini masyarakat Indonesia gembar akibat kabar PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex yang dinyatakan pailit. Perusahaan berkode emiten SRIL itu resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.
Berdasarkan putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg, Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya telah mengabaikan kewajiban pembayaran mereka kepada PT Indo Bharat Rayon, sebagai pemohon, sesuai dengan Putusan Homologasi yang dikeluarkan pada tanggal 25 Januari 2022.
Terkait pailit, ada beberapa hal yang mungkin menjadi pertanyaan. Seperti bagaimana prosesnya? Lalu, bagaimana hak karyawan dan nasib perusahaan.
Jatuh bangun dalam dunia usaha adalah hal yang biasa. Ketika sebuah badan usaha sudah tidak mampu bertahan, maka kemungkinan besar usaha tersebut akan berakhir dalam kondisi pailit.
Kepailitan atau pailit adalah kondisi di mana uatu perusahaan atau badan usaha tidak mampu membayar utangnya tepat waktu dan/atau jumlah utangnya melebihi harta yang dimiliki. Pailit juga dapat diartikan sebagai pembekuan kegiatan perusahaan atau badan usaha akibat ketidakmampuan dalam melunasi utang-utangnya tepat waktu.
Dilansir dari hukumku.id, undang-undang yang mengatur pailit adalah UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang. Sidang untuk kepailitan biasanya akan dilaksanakan paling lambat 20 hari setelah permohonan diajukan.
Hanya Pengadilan Niaga yang memiliki wewenang untuk menyatakan suatu badan usaha dalam kondisi pailit. Dilansir dari siplawfirm.id, proses kepailitan diawali dengan pengajuan permohonan ke pengadilan oleh kreditur atas tagihan yang sudah jatuh tempo.
Setelah permohonan diterima, pengadilan akan memeriksa apakah persyaratan kepailitan terpenuhi dan menentukan apakah akan memberikan keputusan untuk mengumumkan kepailitan atau tidak.
Jika kepailitan dikabulkan, pengadilan akan menunjuk curator untuk mengelola kepentingan para kreditur dan menjual kekayaan perusahaan yang dinyatakan pailit. Hasil penjualan tersebut akan dipakai untuk melunasi utang perusahaan.
Akan tetapi, UU KPKPU juga memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sebelum mengajukan pailit. Melalui PKPU, perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan dapat menyusun rencana restrukturisasi utang, sehingga dapat melunasi utang secara lebih teratur dan terencana.
Dilansir dari bursadvocates, dalam mengajukan kepailitan, ada syarat tertentu yang harus dipenuhi agar pengajuan tersebut dapat diproses dan diputuskan. Pemenuhan syarat ini merupakan bagian dari prosedur pengajuan kepailitan yang diatur dalam UU Kepailitan.
Menurut Pasal 2 UU Kepailitan, syarat yuridis kepailitan harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum dapat mengajukan kepailitan terhadap sebuah perusahaan. Syarat tersebut mencakup adanya utang yang salah satunya sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, memiliki dua atau lebih kreditur, adanya debitur, permohonan pernyataan pailit, serta pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga.
Untuk mendapatkan pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga, prosedur pengajuan kepailitan juga harus dilalui. Berikut prosedur yang harus dilalui untuk memperoleh pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga:
1. Pengajuan Kepengadilan: Pengajuan permohonan pailit kepada Ketua Pengadilan harus dilakukan dengan menggunakan kuasa hukum berlisensi Kurator Advokat untuk didaftarkan ke Panitera pengadilan.
2. Penyampaian Pernyataan Permohonan Pailit: Panitera akan menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 hari setelah tanggal pendaftaran permohonan. Sidang akan dijadwalkan dalam waktu 3 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
3. Sidang Pemeriksaan Permohonan Kepailitan: Sidang pemeriksaan akan dilaksanakan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
4. Pemanggilan Debitur Oleh Pengadilan: Debitur harus dipanggil oleh pengadilan jika permohonan pailit diajukan kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan.
5. Pemanggilan Kreditur: Kreditur bisa dipanggil pengadilan jika pernyataan pailit diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan terkait pemenuhan syarat-syarat kepailitan.
6. Pemanggilan Debitur dan Kreditur dengan Surat Kilat: Pemanggilan terhadap debitur atau kreditur akan dilakukan oleh juru sita melalui surat kilat, paling lambat 7 hari sebelum persidangan pertama dilaksanakan.
7. Putusan Pengadilan Terkait Kepailitan: Putusan pengadilan atas permohonan pailit harus dikabulkan jika terbukti ada fakta bahwa persyaratan pailit terpenuhi. Keputusan tersebut harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah didaftarkan.
8. Pembacaan Putusan: Pertimbangan hukum yang mendasari putusan atas permohonan pernyataan pailit harus dicantumkan secara lengkap. Putusan tersebut juga harus memuat pendapat Majelis Hakim, yang harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meski ada upaya hukum terhadap putusan tersebut.
Jika suatu perusahaan dinyatakan pailit, karyawan berhak untuk mengakhiri hubungan kerja secara sepihak, sementara kurator juga berwenang untuk memberhentikan karyawan dengan tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Dilansir dari hukumonline, hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UU KPKPU dan penjelasannya, yang termasuk dalam Bagian Kedua UU KPKPU mengenai Akibat Kepailitan. Berikut adalah bunyi pasalnya:
Pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan kerja, sebaliknya, Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat lima) hari sebelumnya.
Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 154A ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa salah satu alasan untuk terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah kondisi perusahaan yang pailit.
Penting untuk dicatat, dalam kasus terjadinya PHK, pengusaha diwajibkan untuk membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh karyawan.
Selain itu, status upah dan hak-hak karyawan lainnya yang belum dibayarkan ketika perusahaan dinyatakan pailit merupakan utang yang harus diutamakan pembayarannya, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 81 angka 36 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 95 UU Ketenagakerjaan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Jika perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima pekerja/buruh dianggap sebagai utang yang harus diutamakan dalam pembayaran.
2. Upah pekerja/buruh didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.
3. Hak lain dari pekerja/buruh didahulukan pembayarannya di atas semua kreditur, kecuali bagi kreditur yang merupakan pemegang hak jaminan kebendaan.
Dalam Pasal 142 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dijelaskan bahwa pembubaran PT dapat terjadi karena:
1. Berdasar keputusan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).
2. Karena jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir.
3. Berdasarkan penetapan pengadilan.
4. Dengan dicabutnya status kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, harta pailit perusahaan tidak mencukupi untuk menutupi biaya kepailitan.
5. Karena harta pailit PT yang telah dinyatakan pailit berada dalam kondisi insolvensi, hal ini diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
6. Selain itu, pencabutan izin usaha perusahaan mengharuskan perusahaan untuk melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dikutip dari Jurnal Notarius yang berjudul ‘Kedudukan Perseroan Terbatas yang Tetap Aktif Menjalankan Perusahaannya (Going Concern) setelah Dipailitkan’ oleh Yunintio Putro Utomo dan Paramita Prananingtyas, perusahaan yang dinyatakan pailit masih dapat melanjutkan operasionalnya atau going concern.
Hal ini harus didasarkan pada penilaian kurator yang menyatakan bahwa perusahaan masih memiliki prospek untuk meningkatkan boedel pailit. Artinya, jika suatu PT dinilai going concern, kurator akan memilih untuk melanjutkan operasional perusahaan demi kepentingan banyak pihak.
Jika perusahaan tetap beroperasi, ada kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan tersebut dapat menambah harta dalam boedel pailit, sehingga utang-utangnya dapat dilunasi.
Mengenai keberlanjutan usaha atau going concern juga tercantum dalam undang-undang yang telah disebutkan, tepatnya dalam Pasal 104 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
1. Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, kurator dapat melanjutkan usaha debitor yang dinyatakan pailit meski terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
2. Jika dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, kurator memerlukan izin hakim pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Asas kelangsungan usaha bertujuan untuk melindungi kepentingan debitor pailit dari kepentingan kreditor yang ingin segera menuntut penyelesaian utang debitor pailit. Hal ini dapat mengakibatkan debitor pailit kehilangan hak-haknya secara otomatis.
Jadi, jika suatu perusahaan dinyatakan pailit, perusahaan masih dapat beroperasi dengan syarat-syarat tertentu seperti yang telah dijelaskan. Salah satunya adalah dengan mempertimbangkan faktor finansial dan non-finansial perusahaan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 31 Oct 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 31 Okt 2024