Kemenkue: Orang Kaya Gaji di Atas Rp5 Miliar Akan Kena Pajak PPh 35%

Senin, 28 Juni 2021 22:16 WIB

Penulis:Sutan Kampai

Kantor-Ditjen-Pajak-Kemenkeu.jpg
Ilustrasi kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, di kawasan Gatot Subroto, Jakarta.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menambah golongan tarif baru atau tax bracket untuk mengejar pajak penghasilan (PPh). Golongan tersebut ditujukan bagi Wajib Pajak (WP) dengan penghasilan di atas Rp5 miliar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kalangan masyarakat super kaya itu wajib membayar PPh sebesar 35%. Rencana ini sudah dituangkan Sri Mulyani dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut golongan tarif baru itu dibuat karena pemajakan orang super kaya kerap terhalang natura atau fringe benefit. Untuk diketahui, natura adalah tambahan kompensasi atau tunjangan yang diberikan kepada perusahaan kepada karyawan.

Nah, terdapat beberapa golongan natura yang tidak masuk objek pajak dan biasanya dinikmati oleh masyarakat berpendapatan tinggi. Menurut Sri Mulyani, rata-rata belanja PPh Orang Pribadi (OP) dalam bentuk natura yang ditanggung negara pada 2016-2019 mencapai Rp5,1 triliun.

“Pemajakan orang kaya ini tidaklah mudah karena kita berhadapan dengan berbagai fasilitas natura yang dinikmati namun tidak menjadi objek pajak. 50% penerima tax expenditure PPh berasal dari golongan masyarakat berpendapatan tinggii,” tegas Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senin, 28 Juni 2021.

Menurut perhitungan Kemenkeu, jumlah masyarakat super kaya ini hanya mencapai 0,03% dari keseluruhan WP. Namun, karena nominal tarif yang dibebankan tinggi, kontribusinya bisa menembus 14,28% dari rata-rata total PPh Orang Pribadi (OP).

Sri Mulyani pun menyebut penerimaan pajak orang kaya bisa mencapai Rp12 triliun per tahun. Nilai ini diproyeksikan naik bila kebijakan golongan tarif baru PPh 35% berhasil diketok palu DPR.

Masih Rendah

Meski begitu, tarif PPh 35% itu tergolong lebih rendah dibandingkan rata-rata tarif negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Pasalnya, rata-rata tarif PPh masyarakat berpendapatan tinggi negara OECD menyentuh 41,65%.

Sejumlah negara-negara di Asia pun telah berani membebankan tarif pajak tinggi bagi orang super kaya. China mematok tarif PPh masyarakat berpendapatan tinggi mencapai 45% dan Jepang dengan 55,95%.

Sementara di negara-negara tetangga, tax bracket yang berlapis membuat penarikan PPh OP masyarakat berpendapatan tinggi jauh lebih ketat dan progresif. Vietnam tercatat memiliki tujuh golongan tarif PPh, Thailand 8 golongan, dan Malaysia mencapai 11 golongan

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengklaim beban tarif PPh yang rendah terhadap orang kaya ini ikut mendorong ketimpangan perekonomian di Indonesia.

Dengan penghasilan yang tinggi, Bhima menyebut, pemerintah seharusnya bisa lebih banyak mengeruk penerimaan dari kalangan tersebut. Penerapan PPh 35% ini pun dapat menjadi jalan baru meredam rasio gini yang melebar akibat pandemi COVID-19.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan rasio gini di perkotaan pada September 2020 mencapai 0,399 atau meningkat dibandingkan Maret 2020 yang sebesar 0,393.

Sementara itu, rasio gini di pedesaan terpantau berada di angka 0,319 pada September 2020, naik tipis dibandingkan Maret 2020 yang sebesar 0,317. Rasio gini sendiri dinyatakan dalam rentang 0-1. Ketimpangan terjadi bila skor rasio gini semakin mendekati angka 1.

“Tekanan yang dialami masyarakat berpendapatan rendah ini sangat tinggi. Pemerintah seharusnya bisa mencari cara peningkatan kontribusi pajak masyarakat berpendapatan tinggi,” ucap Bhima kepada TrenAsia.com beberapa waktu lalu. (TrenAsia.com)