listrik
Selasa, 12 Agustus 2025 18:03 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA - Sejak 2018, tren startup panel surya di Indonesia semakin mencuri perhatian, mulai dari pemasangan di atap mal hingga klinik. Perusahaan seperti Xurya Daya Indonesia dan Suryanesia menawarkan konsep “solar-as-a-service,” yang memungkinkan pengguna memanfaatkan energi surya tanpa biaya investasi awal. Cukup dengan membayar sewa bulanan, tagihan listrik bisa berkurang sekaligus membantu menurunkan jejak karbon.
Fenomena ini semakin relevan di tengah naiknya kesadaran generasi muda soal keberlanjutan dan penghematan energi. Tapi, apakah harganya benar-benar bersaing dengan listrik PLN? Dan sejauh apa pengaruhnya pada pasokan listrik nasional? Mari kita kupas.
Xurya Daya Indonesia adalah salah satu pelopor layanan panel surya atap tanpa investasi awal. Berdiri sejak 2018, sampai pertengahan 2023 mereka telah menggarap lebih dari 100 proyek dengan produksi energi hijau mencapai 130 juta kWh. Dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tapi juga ekonomi—tercatat sekitar 3.000 lapangan kerja baru tercipta.
Model ini juga diikuti oleh Suryanesia, yang mengusung konsep sewa panel surya atap untuk rumah dan bisnis. Dengan sistem ini, pelanggan bisa langsung merasakan penghematan tagihan listrik bulanan tanpa harus membeli panel dan instalasi yang biasanya mahal di awal.
Rata-rata biaya pembangkitan listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia pada 2022 adalah Rp1.034,52 per kWh, turun 19% dari tahun sebelumnya.
Namun, PLN mencatat Biaya Pokok Penyediaan (BPP) PLTS masih sekitar Rp4.712 per kWh (periode 2018–2022), jauh di atas pembangkitan listrik batubara (PLTU) yang hanya sekitar Rp705 per kWh.
Menariknya, ada proyek PLTS di Bali yang berhasil menekan harga jual listrik hingga di bawah US$0,06/kWh (±Rp960), bahkan lelang lain pernah mencatat angka US$0,035/kWh (±Rp560).
Secara rata-rata, listrik dari PLTS memang masih lebih mahal dibandingkan PLTU batubara. Tetapi, model sewa panel surya dari startup membuat harga yang dibayar pengguna bisa lebih kompetitif. Untuk bisnis kecil, kafe, atau rumah tangga, selisih biaya ini sering tertutupi oleh penghematan jangka panjang dan nilai tambah ramah lingkungan.
Startup panel surya memperkaya bauran energi Indonesia, membantu mengejar target energi terbarukan nasional yang ditetapkan pemerintah.
Dengan panel terpasang langsung di atap gedung atau rumah, energi diproduksi dekat dengan titik konsumsi. Ini mengurangi beban jaringan distribusi PLN dan risiko kehilangan energi saat transmisi.
Baca Juga: Mobil Listrik Melonjak 29 Kali Lipat, Infrastruktur SPKLU Sudah Siap?
Contoh dari Xurya menunjukkan bahwa proyek energi bersih bisa menciptakan ribuan “green jobs” dan mendorong ekonomi lokal.
Startup seperti Xurya dan Suryanesia menjadi “etalase hidup” transisi energi. Mereka membantu masyarakat melihat bahwa energi bersih bisa diakses tanpa ribet atau mahal di awal.
Startup panel surya di Indonesia sedang mengubah cara kita melihat dan menggunakan listrik. Walaupun biaya rata-rata PLTS masih di atas listrik PLN dari batubara, model sewa tanpa modal awal membuatnya terjangkau, apalagi untuk pengguna yang ingin hemat biaya sekaligus peduli lingkungan.
Generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, punya peran besar dalam percepatan transisi energi. Setiap keputusan memasang panel surya bukan cuma soal tagihan listrik, tapi juga investasi untuk masa depan bumi.
Kalau kamu tertarik dengan perkembangan startup energi bersih, pantau terus update selanjutnya di media ini—karena tren ini baru saja mulai, dan dampaknya bisa sangat besar untuk Indonesia.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Idham Nur Indrajaya pada 12 Aug 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 12 Agt 2025
6 bulan yang lalu
7 bulan yang lalu
7 bulan yang lalu