Kamis, 05 Juni 2025 12:09 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi di lingkup Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Republik Indonesia.
Kasus ini melibatkan sejumlah pegawai dari Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Binapenta & PKK) yang disinyalir telah menyalahgunakan jabatan mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi dari proses perizinan tenaga kerja asing (TKA).
"Terkait pengurusan rencana penggunaan TKA, tentu kita perlu melihat bagaimana tata kelola ketenagakerjaan di Indonesia. Praktik korupsi semacam ini jelas mencederai sistem dan tata kelola ketenagakerjaan," ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, kepada awak media, dikutip Rabu, 4 Juni 2025.
Pada periode 2020 hingga 2023, para oknum tersebut diduga memaksa perusahaan pengguna TKA untuk menyetor sejumlah uang sebagai “pelicin” dalam proses pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Skema ini dilakukan secara terselubung, dengan cara memungut biaya ilegal di luar ketentuan resmi.
"Oknum Kemnaker di Ditjen Binapenta memungut atau memaksa seseorang memberikan sesuatu yang melanggar Pasal 12e dan/atau menerima gratifikasi sesuai Pasal 12B terhadap para calon TKA yang hendak bekerja di Indonesia," ungkap Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, kepada wartawan dalam kesempatan berbeda.
Pengusutan kasus ini ditindaklanjuti melalui penggeledahan oleh penyidik KPK pada Selasa (27/5) di tiga lokasi di wilayah Jabodetabek: rumah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kemnaker di Jakarta Selatan, kantor PT DU (agen pengurusan TKA) di Jakarta Selatan, dan kantor PT LIS (perusahaan terkait perizinan TKA) di Jakarta Timur.
Dari rumah PNS tersebut, penyidik menyita dokumen aliran dana terkait RPTKA, buku tabungan, uang tunai sekitar Rp300 juta, serta sertifikat kendaraan yang diduga hasil gratifikasi. Dari dua kantor agen TKA, KPK juga mengamankan dokumen keuangan, rekap pemberian uang, serta data elektronik berisi catatan aliran dana mencurigakan.
Ironisnya, praktik korupsi ini terjadi di tengah besarnya kontribusi Pekerja Migran Indonesia (PMI) terhadap perekonomian nasional. Dikenal sebagai “pahlawan devisa,” PMI justru kerap menjadi korban eksploitasi, bahkan oleh aparat negara.
Fenomena ini menjadi ironi ketika di satu sisi pemerintah gencar menyuarakan peningkatan perlindungan terhadap PMI, namun di sisi lain abai dalam pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan wewenang.
Saat ini, jumlah tenaga kerja Indonesia di luar negeri tercatat lebih dari 5,2 juta orang. Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, menyebut sekitar 3,9 juta di antaranya bekerja secara legal di negara-negara seperti Hong Kong, Taiwan, dan Malaysia, sementara sisanya masih berstatus ilegal.
Sepanjang 2024, PMI terbanyak bekerja di Hong Kong 70.435 orang, Taiwan 59.654 orang, Malaysia 36.500 orang. Lalu, Jepang 8.521 orang, Korea Selatan 7.167 orang, Singapura 6.785 orang, dan Arab Saudi 5.262 orang.
Berdasarkan data Bank Indonesia, total remitansi yang dikirim oleh TKI sepanjang tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp156,9 triliun. Angka ini menjadikan remitansi sebagai penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor migas, sekaligus berkontribusi sekitar 10% dari total APBN.
Selain memperkuat cadangan devisa negara, kehadiran TKI juga membantu menekan angka pengangguran di dalam negeri. Namun, keberhasilan ini dibayangi oleh buruknya tata kelola penempatan tenaga kerja dan lemahnya pengawasan terhadap praktik ilegal.
Masih maraknya pemerasan terhadap calon TKI, terutama yang berangkat secara non-prosedural, menjadi bukti bahwa sistem perlindungan dan regulasi belum dijalankan secara optimal.
Jika pemerintah ingin menjadikan PMI sebagai aset strategis nasional, maka reformasi menyeluruh terhadap sistem perlindungan dan pengawasan ketenagakerjaan mutlak diperlukan.
Pekerja migran yang menghidupi negara dengan keringat di negeri orang tidak seharusnya terus menjadi “sapi perah” oleh aparat yang justru diberi mandat untuk melindungi mereka.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 04 Jun 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 05 Jun 2025