Pertamina Geothermal (PGEO) Disarankan Tak IPO, Ini Sebabnya

Sabtu, 25 Februari 2023 21:12 WIB

Penulis:Egi Caniago

Editor:Egi Caniago

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).jpeg
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) (Debrinata/TrenAsia)

Saham PT Pertamina Geothermal Energy Tbk alias PGE (ticker: PGEO) bergerak dengan volatilitas tinggi pada debut perdagangan perdananya di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat, 24 Februari 2023.

Pada pembukaan sesi pertama, saham PGEO sempat melonjak ke level Rp925 per lembar dari harga penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) pada level Rp875 per unit saham.

Tak lama kemudian, saham emiten anak usaha PT Pertamina (Persero) itu anjlok 6,8% hingga menyentuh level auto reject bawah (ARB) ke level Rp815. Sebelum penutupan perdagangan, secara ajaib saham PGEO rebound dan ditutup pada level harga IPO di level harga Rp875.

Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menyatakan bahwa ada sentimen berlebihan dari publik terhadap IPO PGE yang ditandai dengan kelebihan permintaan (oversubscribe) pada masa penawaran.

Di sisi lain, geothermal adalah salah satu bisnis di sektor energi yang memiliki tingkat pengembalian investasi rendah dengan risiko yang sangat tinggi. Bahkan kemungkinan gagal bisa mencapai 60-75%.

“Maka investasi di pengembangan geothermal adalah high risk investment,” ujarnya kepada wartawan, dikutip Sabtu, 25 Februari 2023.

Menurutnya, proses bisnis geothermal memakan waktu yang cukup lama. Bagaimana tidak, mulai dari survei awal, penyiapan lahan, perizinan, eksplorasi hingga pengembangan pembangkit listrik bisa membutuhkan waktu 7-9 tahun lamanya. Belum lagi risiko tinggi yang mengikuti proses bisnisnya.

Selain sisi risiko tinggi dan return minim, investasi panas bumi juga membutuhkan modal jumbo. Mulai dari penentuan titik lokasi yang berpotensi, lalu infrastruktur pengembangannya, bahkan eksplorasinya sendiri bisa mencapai 40-60% dana operasional. 

Tak ayal jika secara jangka panjang, pengumpulan dana publik perseroan sebagaian besarnya akan digunakan untuk belanda modal (capital expenditure/capex) di berbagai wilayah kerja panas bumi (WKP) di Indonesia.

“Risiko kegagalannya pun cukup tinggi, baik dari sisi teknis maupun non teknisnya, seperti ancaman kerusakan lingkungan, resettlement, atau bahkan harus mengorbankan situs-situs di lokasi eksplorasi dan permasalahan sosial lainnya,” kata dia.

Teguh menilai kesalahan strategis yang dilakukan perseroan adalah mementingkan pendanaan jangka pendek dalam kondisi yang belum siap. Padahal sejatinya model investasi geothermal harus jangka panjang dan membutuhkan strategic partner dalam pengembangan awal, bukan dengan IPO.

Ia juga melihat rangkaian yang salah dari aksi korporasi PGE itu, di mana strategic partner yang hendak berinvestasi dipaksa masuk pada valuasi yang sudah naik dari nilai IPO. “Belum kuatnya pemetaan risiko dan minim expertise membuat lemah fundamental perusahaan,” paparnya.

Akhirnya, lanjut Teguh, investor yang akan masuk menjadi strategic partner akan berpikir dua kali jika PGE sudah melantai di bursa. 

Mengingat naiknya valuasi setelah IPO akan menyulitkan pengembangan bisnis sekaligus mempersempit kerja sama strategis dengan berbagai entitas lainnya ke depan.