Ekonomi Indonesia
Jumat, 14 November 2025 11:23 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah

JAKARTA – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah memasukkan rencana redenominasi rupiah ke dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2025–2029. Kebijakan ini tertuang secara resmi dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 yang telah ditandatangani oleh Purbaya.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa pembahasan terkait dasar hukum atau regulasi untuk pelaksanaan redenominasi akan segera dimulai melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi).
“Saat ini, RUU Redenominasi telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah Tahun 2025-2029, sebagai RUU inisiatif Pemerintah atas usulan Bank Indonesia,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso melalui keterangan tertulis, Senin, 10 November 2025.
Ramdan Denny memastikan, BI bersama Pemerintah dan DPR akan terus membahas proses redenominasi ke depannya.
Ia menambahkan, pelaksanaan redenominasi akan tetap mempertimbangkan waktu yang tepat, dengan memperhatikan stabilitas politik, ekonomi, dan sosial, serta kesiapan teknis termasuk aspek hukum, logistik, dan teknologi informasi.
“Bank Indonesia akan tetap fokus menjaga stabilitas nilai Rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi selama proses redenominasi berlangsung,” tegasnya.
Indonesia melakukan pemotongan nilai uang di tengah kondisi hiperinflasi dan ketidakstabilan politik saat dipimpin oleh Soekarno.
Saat itu, kondisi ekonomi tengah kritis. Biaya proyek politik dan ambisi besar negara, ditambah pencetakan uang yang berlebihan, membuat inflasi melonjak hingga sekitar 635% pada tahun 1966. Harga-harga meningkat tajam, sehingga nilai rupiah langsung anjlok.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah kurs atau nilai tukarnya di pasar. Tujuannya adalah mengurangi jumlah angka pada pecahan uang tanpa menurunkan harga, nilai, maupun daya beli terhadap barang dan jasa.
Sebelumnya, Indonesia pernah menerapkan redenominasi rupiah pada 13 Desember 1965. Saat itu, redenominasi rupiah dilakukan dengan memangkas tiga nol dari nilai mata uang. Kebijakan ini terjadi di era Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No.27/1965 yang menetapkan tindakan moneter, yaitu dengan menurunkan nilai mata uang lama dari Rp1.000 menjadi Rp1 uang baru, dengan tujuan menciptakan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Indonesia.
Peraturan tersebut menyatakan semua mata uang akan diredenominasi, artinya setiap uang akan diilangkan tiga nol di belakangnya. Misalnya, uang Rp100.000 menjadi Rp100, Rp1.000 menjadi Rp1, dan seterusnya.
Pemerintah saat itu melakukan redenominasi untuk menciptakan kesatuan moneter di seluruh Indonesia. Namun, tidak lama kemudian, rupiah kembali ke nominal semula.
Redenominasi yang dilakukan pada tahun 1965 tidak berhasil, salah satunya disebabkan oleh kondisi psikolog masyarakat yang belum sepenuhnya memahami kebijakan tersebut, sehingga inflasi tinggi terjadi di mana-mana. Selain itu, kondisi politik saat itu juga sedang sangat tidak stabil.
Tanpa adanya sosialisasi kepada masyarakat dengan baik, kebijakan redenominasi berpotensi mengalami kegagalan seperti yang terjadi pada tahun 1965.
Sejarawan ekonomi mencatat redenominasi dalam bentuk sanering tidak memberikan hasil positif, malah menimbulkan trauma bagi masyarakat. Harga-harga tetap melambung, dan inflasi pada tahun 1966 sangat tinggi.
Masyarakat yang sebelumnya kesulitan karena melonjaknya harga kebutuhan menjadi semakin menderita ketika nilai uang yang mereka simpan tiba-tiba dipotong secara drastis.
Melansir dari Jurnal bertajuk “Redenominasi dan Sanering Mata Uang Rupiah (IDR): Analisis Komparasi,” Belarusia, Bulgaria, Polandia, Turki, Rusia, Argentina, Brazil, dan Israel telah melakukan redenominasi untuk memudahkan masyarakat dalam menggunakan uang lama dan uang baru.
Langkah ini bertujuan mengurangi kebingungan akibat peredaran kedua jenis uang tersebut. Uang baru dicetak dengan desain dan warna yang mirip dengan uang lama.
Turki termasuk salah satu negara yang berhasil melakukan redenominasi mata uang. Pemerintah dan otoritas moneter Turki berhasil menghapus enam nol dari nilai mata uangnya, sehingga pada tahun 2005, 1.000.000 lira lama diubah menjadi 1 lira baru.
Kebijakan redenominasi ini dilakukan untuk menekan laju inflasi Turki yang sangat tinggi sejak tahun 1970-an. Inflasi yang tinggi membuat nilai ekonomi negara tersebut mencapai angka triliunan hingga kuadriliunan.
Turki melakukan redenominasi mata uang secara bertahap dengan tetap mempertimbangkan stabilitas perekonomian dalam negerinya.
Pada tahap awal, mata uang TL dan YTL beredar secarasimultan selama satu tahun. Kemudian, mata uang lama secara bertahap ditarik dan digantikan oleh YTL. Pada tahap berikutnya, kata ‘Yeni’ pada uang baru dihapus, sehingga YTL kembali menjadi TL dengan nilai hasil redenominasi.
Selama proses redenominasi berlangsung, kondisi perekonomian tetap terjaga, dan inflasi Turki antara tahun 2005 hingga 2009 stabil berada di kisaran 8-9%.
Sementara, negara-negara seperti Rusia, Argentina, Zimbabwe, Korea Utara, dan Brasil tercatat gagal dalam melakukan redenominasi, meski Brasil akhirnya berhasil melakukan redenominasi pada tahun 1994.
Kegagalan tersebut terjadi karena redenominasi diterapkan pada waktu yang kurang tepat, saat kondisi perekonomian tidak stabil dan inflasi berada pada tingkat tinggi.
Zimbabwe dan Venezuela menjadi contoh nyata kegagalan yang paling mencolok. Zimbabwe melakukan empat kali redenominasi antara 2006-2009 saat inflasi melonjak hingga 79,6%. Venezuela memangkas delapan nol pada 2018, tetapi inflasi tetap melambung di atas 10.000% per tahun.
Tanpa adanya disiplin fiskal dan kestabilan harga, redenominasi justru mempercepat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang.
Indonesia memiliki memori kolektif terkait kebijakan sanering 1965, ketika nilai uang dipotong dengan rasio 1.000:1. Dampaknya tidak hanya angka nominal yang berkurang, tetapi daya beli masyarakat juga menurun.
Pengalaman ini menimbulkan trauma, sehingga setiap wacana redenominasi selalu menghadapi pertanyaan mendasar, apakah fondasi ekonomi kita sudah cukup kokoh?
Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi di Indonesia relatif terkendali, berada di kisaran 2,5-4,5%, sementara pertumbuhan ekonomi stabil sekitar 5%.
Namun, bagi Indonesia tantangan tetapada. Rasio utang pemerintah terhadap PDB berada di sekitar 38%, sementara APBN terbebani oleh pengeluaran untuk subsidi energi dan pangan. Di sisi lain, ketimpangan pendapatan masih terlihat dari rasio gini yang berada di angka sekitar 0,38.
Selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan ekonomi sering berfluktuasi, dipengaruhi oleh dinamika politik dan komunikasi pemerintah yang belum selalu konsisten.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 10 Nov 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 14 Nov 2025