UMKM
Kamis, 31 Oktober 2024 13:54 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA — Dolar digunakan sebagai acuan mata uang dunia telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, terutama setelah ditandatanganinya Perjanjian Bretton Woods pada tahun 1944. Perjanjian ini disepakati di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, dan bertujuan untuk menciptakan sistem nilai tukar mata uang yang stabil dengan menggunakan emas sebagai standar universal.
Perjanjian ini tidak hanya berperan penting dalam membentuk ekonomi global pasca perang, tetapi juga mengukuhkan posisi dolar AS sebagai mata uang dominan dunia. Menurut seorang ekonom dari Universitas Airlangga (Unair), Rossanto Dwi Handoyo, dolar mulai digunakan sebagai mata uang acuan dunia karena adanya kebutuhan untuk memperbaiki kekacauan dalam perdagangan dan pembayaran internasional setelah Perang Dunia Kedua.
Pada waktu itu, banyak negara mengalami ketidakstabilan ekonomi dan kesulitan dalam menjaga nilai tukar mata uang mereka. Amerika Serikat, sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar setelah perang, menawarkan dolar sebagai mata uang yang stabil dan dapat diandalkan untuk transaksi perdagangan internasional. Amerika juga memberikan jaminan bahwa setiap dolar yang dicetak akan didukung oleh cadangan emas di Bank Sentral Amerika, di mana satu dolar dihubungkan dengan 1/35 ons emas.
Jaminan ini menciptakan kepercayaan dunia internasional terhadap dolar Amerika. Dengan adanya backup berupa emas, setiap negara yang melakukan perdagangan internasional merasa aman menggunakan dolar sebagai alat tukar.
"Dengan jaminan seperti itu, akhirnya menimbulkan kepercayaan atau trust dunia internasional kepada dolar. Maka dari itu, setiap Amerika Serikat mencetak mata uang perlu di backup dengan menaruh emas di Bank Sentral Amerika,” ungkap Rossanto, dikutip Senin 21 Oktober 2024.
Pada tahun 1970-an, Amerika Serikat menghadapi masalah besar ketika dolar melemah secara signifikan. Pada saat itu, AS mengalami kesulitan dalam menjaga kestabilan ekonomi, yang akhirnya menyebabkan stagflasi, yaitu situasi di mana inflasi tinggi terjadi bersamaan dengan stagnasi ekonomi dan pengangguran yang meningkat. Krisis ini memperlihatkan betapa rapuhnya ekonomi global ketika terlalu bergantung pada satu mata uang, yakni dolar.
Ketika dolar melemah, dampaknya akan langsung terasa di berbagai sektor ekonomi, baik domestik maupun internasional. Salah satu sektor yang paling terdampak adalah sektor ekspor dan impor. Dalam perdagangan internasional, banyak negara yang menggunakan dolar untuk transaksi lintas negara.
Jika nilai dolar menurun, harga barang ekspor dari Amerika Serikat akan menjadi lebih murah di pasar internasional, sehingga meningkatkan daya saing produk-produk Amerika. Namun, sebaliknya, barang-barang impor menjadi lebih mahal bagi konsumen Amerika, yang pada akhirnya dapat menyebabkan inflasi di dalam negeri.
Melemahnya dolar juga berdampak pada sektor pariwisata dan perdagangan. Untuk negara-negara yang sangat bergantung pada pendapatan dari sektor pariwisata, turunnya nilai dolar bisa mengakibatkan penurunan jumlah wisatawan dari Amerika Serikat karena biaya perjalanan ke luar negeri menjadi lebih mahal bagi mereka. Hal ini akan merugikan negara-negara yang menerima banyak wisatawan dari Amerika Serikat, seperti negara-negara di Asia Tenggara dan Eropa.
Di sisi lain, pelemahan dolar juga berdampak pada perdagangan minyak internasional. Sebagian besar perdagangan minyak dilakukan menggunakan dolar Amerika. Jika dolar melemah, maka harga minyak internasional, yang diukur dalam dolar, akan cenderung naik. Kenaikan harga minyak ini akan berdampak luas pada harga barang-barang lainnya, terutama barang-barang yang bergantung pada minyak untuk produksi atau distribusi. Dengan demikian, konsumen di berbagai negara akan dirugikan oleh kenaikan harga yang disebabkan oleh pelemahan dolar.
Dalam jangka panjang, pelemahan dolar dapat menimbulkan konsekuensi lebih luas bagi stabilitas ekonomi global. Jika dolar terus melemah, negara-negara lain mungkin akan mencari alternatif lain sebagai mata uang cadangan dunia.
Negara-negara seperti Tiongkok dengan mata uang yuan atau Eropa dengan euro bisa saja mulai berperan lebih besar dalam perdagangan internasional. Namun, transisi dari dolar ke mata uang lain sebagai acuan utama dunia tidak akan terjadi dengan mudah dan cepat, mengingat kompleksitas sistem keuangan global yang saat ini sangat terintegrasi dengan dolar Amerika.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Ilyas Maulana Firdaus pada 26 Oct 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 31 Okt 2024
2 hari yang lalu