Uang
Senin, 06 Oktober 2025 15:37 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Tren slow shopping kini semakin ramai dibicarakan di media sosial sebagai cara baru untuk berhemat. Di TikTok, tren keuangan ini mulai menarik perhatian publik setelah sebelumnya muncul fenomena loud budgeting.
Berbeda dari kebiasaan belanja impulsif, slow shopping mengajak konsumen untuk lebih bijak dan mempertimbangkan setiap keputusan pembelian dengan hati-hati.
Menurut Independent, dengan memberi jeda waktu lebih lama antara melihat dan membeli, konsumen dapat lebih disiplin dalam mengatur anggaran sekaligus menghindari penyesalan setelah berbelanja.
Konsep ini juga memberi kesempatan bagi konsumen untuk merebut kembali kendali dari mesin kapitalis, membentuk kebiasaan belanja yang lebih sadar, sekaligus tetap mengutamakan kepuasan pribadi.
Mulai dari TikTok Shop, iklan tertarget di Instagram, hingga haul influencer dan rangkuman produk, lanskap komersial modern saat ini membuat konsumen bisa menghabiskan setengah gaji hanya dalam hitungan menit.
“Belanja online membuat pembelian impulsif jadi lebih mudah dari sebelumnya,” ujar Jack Howard, Kepala Money Wellness di Ally Financial.
“Toko-toko kini benar-benar ada di ujung jari kita. Saat itu terasa menyenangkan bisa membeli apa pun yang diinginkan, kapan pun. Tapi setelahnya, penyesalan sering kali muncul, dan itu sudah terlalu umum terjadi.”
Dengan menerapkan belanja yang lebih sadar melalui slow shopping, seseorang bisa menilai apakah sebuah pembelian benar-benar memberi nilai tambah dalam hidup, sekaligus mengurangi tekanan finansial.
Pakar keuangan konsumen dan pengelolaan anggaran Andrea Woroch menjelaskan, slow shopping adalah tren finansial yang mendorong orang untuk lebih sadar dan bijak dalam pengeluaran maupun pembelian, dengan menekankan pada pemahaman apa yang dibeli, alasan membelinya, serta berapa banyak uang yang dikeluarkan.
Alih-alih langsung membeli sesuatu begitu muncul keinginan, slow shopping mendorong konsumen untuk berpikir terlebih dahulu sebelum bertransaksi. Tujuannya agar keputusan belanja lebih sesuai dengan anggaran, sekaligus memberi waktu untuk menilai kebutuhan, harga, dan nilai dari barang tersebut.
Dilansir dari Huffpost, dalam slow shopping, fokusnya adalah pada kualitas, bukan kuantitas, kebalikan dari belanja impulsif. Dengan cara ini, konsumen diajak untuk mempertimbangkan anggaran, kondisi finansial, serta menilai setiap pembelian layaknya sebuah investasi.
“Slow shopping pada dasarnya adalah pendekatan belanja yang lebih terencana dan penuh kesadaran,” ujar pendiri Clever Girl Finance Bola Sokunbi.
“Artinya, setiap pembelian dilakukan dengan lebih bijak: meluangkan waktu untuk menimbang alasan membeli, menghindari keputusan terburu-buru, meminimalkan penyesalan, sekaligus membantu menabung lebih banyak,” tambahnya.
Woroch menjelaskan, slow shopping membantu menghindari belanja impulsif yang dipicu emosi atau rasa takut ketinggalan promo.
Tren ini juga memberi waktu untuk membandingkan harga, mencari kupon, menunggu diskon, sekaligus menabung sebelum membeli sehingga tidak perlu mengandalkan kartu kredit yang justru bisa menjerumuskan ke utang.
Ia menekankan pentingnya memilih waktu yang tepat untuk berbelanja. “Dengan menunggu momen diskon pertengahan hingga akhir musim, Anda bisa mendapatkan potongan harga besar untuk barang musiman,” jelas Woroch.
“Hampir setiap barang punya waktu terbaik untuk dibeli, dan slow shopping membantu Anda menentukan waktu yang pas agar mendapatkan penawaran maksimal.”
“Apalagi jika Anda sudah tahu jadwal diskon tertentu, Anda bisa lebih dulu merencanakan apa yang benar-benar dibutuhkan, berapa anggaran yang tersedia, dan di mana sebaiknya berbelanja.”
Selain itu, slow shopping juga memberi waktu lebih untuk menabung atau mengumpulkan poin serta cashback dari pembelian kebutuhan pokok, sehingga saat waktunya membeli barang khusus, jumlah yang harus dibayar bisa lebih ringan.
“Anda bisa lebih terencana dalam berbelanja, entah itu menabung untuk mobil, rumah, atau bahkan liburan ke Eropa,” ujar Brian Steiner, Direktur Eksekutif organisasi nirlaba asuransi jiwa dan perencanaan keuangan Life Happens.
Ini adalah cara yang baik untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan menghindari pengeluaran berlebihan akibat gaya hidup yang meningkat (lifestyle creep) atau tekanan sosial.
Slow shopping membuat berpikir tentang apa yang benar-benar sanggup dibeli, bukan sekadar apa yang diinginkan saat itu juga.
Seiring bertambahnya usia dan meningkatnya pendapatan bebas, banyak orang cenderung mengeluarkan uang untuk hal-hal yang sebelumnya dianggap sebagai kemewahan yang tidak perlu. Fenomena ini disebut lifestyle creep.
Di era media sosial, kecenderungan tersebut bisa makin tak terkendali ketika konsumen melihat barang mewah atau pengalaman mahal yang dibeli orang lain, lalu menganggapnya sebagai kebutuhan, bukan pilihan.
Menurut Woroch, survei terbaru dari Bread Financial menemukan bahwa 62% Gen Z mengaku sering menghabiskan uang untuk mengikuti tren online.
Sementara 79% mengatakan media sosial sangat memengaruhi pembelian impulsif yang sebenarnya hanya kesenangan sesaat. Akibatnya, banyak orang akhirnya menyesal dan mengalami pemborosan.
Meski para pakar keuangan pribadi menyoroti banyak manfaat dari slow shopping, konsep ini tetap memiliki sisi kurangnya.
“Memikirkan setiap pembelian secara matang bisa memakan waktu, terutama bagi mereka yang cenderung overthinking,” jelas Sokunbi.
Akibatnya, bisa saja melewatkan promo atau penawaran khusus yang hanya berlaku dalam waktu singkat, dan akhirnya membayar lebih ketika akhirnya jadi membeli. Namun, mengurangi penyesalan dan membelanjakan uang dengan bijak tetap jauh lebih penting dibandingkan kerugian kecil itu.
Memang ada risiko kehilangan kesempatan diskon terbatas, tetapi promo sesaat seharusnya bukan alasan utama dalam mengambil keputusan belanja.
Setelah memutuskan untuk mencoba slow shopping demi memperbaiki kebiasaan belanja dan mengurangi pemborosan, mungkin Anda akan merasa bingung harus mulai dari mana.
“Bagi pemula, pilih salah satu pos pengeluaran sebagai titik awal, bisa dari pakaian, produk perawatan diri, atau belanja kebutuhan sehari-hari,” saran Sokunbi.
“Buat daftar belanja, tinjau kembali, bandingkan harga, lalu tentukan pembelian apa yang benar-benar ingin Anda lakukan serta alasannya.”
Anda tidak perlu langsung menerapkan metode ini ke semua aspek pengeluaran. Butuh waktu untuk menemukan ritme dan pola yang paling sesuai dengan diri Anda.
Terapkan aturan 48 jam, yaitu menunggu dua hari penuh sejak muncul keinginan membeli sebelum benar-benar memutuskan untuk membeli. Aturan ini berlaku bahkan untuk barang diskon.
Jeda 48 jam memberi waktu cukup untuk meredakan emosi dan rasa urgensi semu, sehingga Anda bisa lebih jernih menilai apakah barang itu benar-benar dibutuhkan atau sekadar diinginkan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 04 Oct 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 06 Okt 2025