Korea Selatan
Senin, 11 November 2024 13:26 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Generasi Z (Gen Z) saat ini kerap menjadi pusat perhatian dalam dunia kerja karena mendapat stigma sebagai “Generasi paling malas.” Tidak hanya itu, Gen Z kerap dianggap manja dan rapuh. Namun, kenyataannya, mereka menghadapi hambatan struktural saat mencari pekerjaan.
Gen Z mulai memasuki dunia kerja di tengah puncak pandemi. Namun menurut artikel terbaru di Inc, 60% pengusaha telah mengakui telah memecat karyawan Generasi Z yang mereka rekrut tahun ini, . Hal ini telah memicu perbincangan yang berkembang tentang mengapa banyak karyawan Generasi Z berjuang untuk mempertahankan pekerjaan mereka.
Mudah untuk menyalahkan kejadian ini pada stereotip generasi—kemalasan, hak istimewa, atau ketidakdewasaan—tetapi masalahnya jauh lebih kompleks.
Dilansir dari Forbes, berikut tiga alasan mengapa Gen Z banyak dipecat dari pekerjaan mereka. Yuk, simak!
Salah satu kritik paling umum terhadap Gen Z secara umum adalah kurangnya motivasi yang dirasakan. Semua orang mulai dari Generasi Milenial hingga Generasi Baby Boomer gemar membicarakan keengganan Gen Z untuk bekerja keras demi apa yang ingin mereka capai dalam hidup tanpa perlu menjelaskan alasannya.
Dari krisis keuangan 2008 hingga COVID-19, generasi ini menyaksikan secara langsung bagaimana para pemberi kerja sering memperlakukan karyawan yang loyal. PHK, pemotongan gaji, dan kurangnya keamanan kerja merupakan tema umum dalam kehidupan orang tua mereka.
Dari sudut pandang ini, kita dapat melihat mengapa mereka mungkin mengembangkan rasa skeptisisme tentang jalur karier tradisional.
Deloitte melaporkan Gen Z menghargai perusahaan yang peduli dengan dunia di sekitar mereka, termasuk karyawan mereka. Namun, secara paradoks, pengalaman hidup mereka mencakup menyaksikan ketidakstabilan pasar tenaga kerja dan perusahaan yang mengeksploitasi segala hal yang menghalangi jalan mereka.
Kurangnya motivasi yang dirasakan ini mungkin merupakan bentuk upaya mempertahankan diri, keengganan untuk terjun ke dalam sistem yang tidak menawarkan banyak stabilitas sebagai balasannya.
Masalah lain yang mungkin berkontribusi terhadap tantangan di tempat kerja bagi Gen Z adalah komunikasi. Meskipun anggota generasi ini sering dipuji sebagai penduduk asli digital, hal itu tidak selalu berarti keterampilan interpersonal yang kuat dalam lingkungan kerja tradisional.
Tumbuh besar dengan media sosial dan komunikasi berbasis teks berarti banyak karyawan muda mungkin kesulitan dengan percakapan tatap muka, terutama yang diharapkan dalam lingkungan profesional.
Artikel tahun 2022 dari Harvard Law School menjelaskan pekerja Gen Z memasuki dunia kerja selama pandemi. Generasi ini memulai karier mereka saat mengirim pesan singkat—sesuatu yang sangat mereka sukai—masih bisa diterima daripada harus menghadiri rapat tim.
Mereka kehilangan waktu tatap muka di kantor pada titik krusial dalam pengembangan karier mereka. Hal ini berpotensi menciptakan kesenjangan dalam pembelajaran mereka dan membuat mereka tidak siap untuk industri yang mengharuskan rapat, presentasi, dan kolaborasi mendalam.
Masalah muncul ketika tempat kerja mengharapkan Gen Z untuk menyesuaikan diri tanpa menawarkan jalan tengah. Kesenjangan komunikasi ini dapat dengan mudah menyebabkan kesalahpahaman, kesalahan, atau bahkan kesan bahwa para pekerja ini tidak terlibat — padahal sebenarnya, mereka hanya menggunakan metode yang berbeda untuk berkomunikasi.
Mungkin alasan paling menentukan mengapa Gen Z mungkin kehilangan pekerjaan adalah penolakan mereka terhadap budaya kerja tradisional, yang menekankan jam kerja panjang, ketersediaan konstan, dan keterlibatan dalam pekerjaan seseorang.
Bagi generasi yang lebih tua, kesuksesan dikaitkan dengan kerja keras dan pengorbanan karier. “Budaya kerja keras” generasi milenial meromantisasi gagasan bekerja malam, akhir pekan, dan hari libur untuk maju.
Namun, Gen Z tidak mempercayainya. Mereka menginginkan lebih dari sekadar gaji—mereka menginginkan keseimbangan, makna, dan rasa kepuasan pribadi yang tidak sepenuhnya terkait dengan pekerjaan.
Laporan Deloitte lainnya dari tahun 2023 menemukan 50% responden Gen Z menempatkan “keseimbangan kehidupan dan pekerjaan” sebagai salah satu prioritas utama mereka saat mempertimbangkan pekerjaan.
Generasi yang “mengungkapkan pendapat” ini cenderung tidak menoleransi lingkungan tempat kerja yang tidak sehat dan lebih cepat meninggalkan posisi yang tidak memenuhi harapan mereka.
Hal ini tidak selalu berarti kemalasan. Generasi Z lebih bersedia memprioritaskan kesejahteraan pribadi dan kesehatan mental daripada kemajuan karier. Perubahan prioritas ini dapat mengejutkan bagi rekan kerja mereka yang lebih tua dan perusahaan yang mengharapkan karyawan untuk bekerja lebih giat.
Gen Z kurang bersedia untuk lembur di kantor atau terus-menerus atau menghubungi lewat email setelah jam kerja.
Penting untuk menyadari, banyak masalah di tempat kerja yang dihadapi Gen Z bukanlah sepenuhnya kesalahan mereka. Mereka tumbuh dalam dunia yang berubah dengan cepat, di mana janji-janji tradisional tentang keamanan kerja dan kemajuan karier tidak selalu berlaku.
Mereka telah belajar, ada hal lain dalam hidup selain bekerja untuk perusahaan yang tidak selalu memberi mereka penghargaan.
Generasi Z tidak dipecat hanya karena mereka adalah “generasi yang buruk.” Sebaliknya, mereka berbenturan dengan sistem kerja yang ketinggalan zaman dan kegagalan beradaptasi dengan kebutuhan modern.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 10 Nov 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 11 Nov 2024
2 hari yang lalu