Langkah Bersejarah: Inggris Akan Akui Palestina, Dulu Dukung Israel

Rabu, 30 Juli 2025 15:27 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

Inggris Akan Akui Palestina, Padahal Dulu Dukung Berdirinya Israel
Inggris Akan Akui Palestina, Padahal Dulu Dukung Berdirinya Israel (null)

JAKARTA - Benua Eropa sedang mengalami perubahan signifikan dalam arah kebijakan luar negerinya. Tiga negara berpengaruh yaitu Inggris, Prancis, dan Jerman, berencana mengambil langkah bersejarah dengan memberikan pengakuan terhadap negara Palestina dalam Sidang Umum PBB pada September 2025. Keputusan ini muncul di tengah memburuknya krisis kemanusiaan di Gaza dan situasi diplomatik di Timur Tengah yang semakin buntu.

Perdana Menteri Inggris Keir Starmer pada tanggal 29 Juli 2025 menyatakan bahwa London akan mengakui Palestina, kecuali Israel memenuhi tiga syarat utama, membuka akses bantuan kemanusiaan ke Gaza, menghentikan rencana aneksasi Tepi Barat, dan kembali ke jalur perdamaian dua negara.

"Saya selalu mengatakan bahwa kami akan mengakui negara Palestina sebagai kontribusi bagi proses perdamaian yang tepat, di saat dampak maksimal bagi solusi dua negara, dengan solusi yang kini terancam, inilah saatnya untuk bertindak," ujar Starmer dalam pernyataan resminya, dikutip media AFP, Rabu, 30 Juli 2025.

Pekan sebelumnya, Presiden Emmanuel Macron lebih dulu mengumumkan sikap serupa, menjadikan Prancis negara G7 pertama yang secara terbuka mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB.

"Sesuai dengan komitmen historisnya untuk perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah, saya telah memutuskan bahwa Prancis akan mengakui Negara Palestina. Saya akan membuat pengumuman resmi di Majelis Umum PBB pada bulan September,"  jelas Macron di laman X miliknya.

Di Berlin, pemerintah Jerman disebut akan mengikuti langkah ini sebagai bagian dari “rencana delapan poin” yang dirancang bersama Inggris dan Prancis untuk menyatukan kebijakan Uni Eropa.

Baca Juga : Prancis akan Akui Palestina, Apa Dampaknya?

Mengapa Kebijakan Ini Berubah?

Krisis kemanusiaan di Gaza menjadi pemicu utama. Lebih dari 60.000 warga Palestina tewas sejak konflik meletus pada Oktober 2023, sementara infrastruktur runtuh, kelaparan meluas, dan akses medis lumpuh total. 

Sejumlah laporan dari PBB dan organisasi kemanusiaan internasional menyebut tindakan militer Israel mengarah pada genosida, dengan bukti penembakan terhadap pengungsi, pemboman rumah sakit, serta eksekusi massal di wilayah padat penduduk. 

Perdana menteri Starmer menyebut kondisi ini sebagai “kegagalan bantuan yang dahsyat,” menekankan bahwa dunia tak bisa lagi menutup mata terhadap skala kekerasan yang tak manusiawi.

Tekanan politik dalam negeri juga meningkat. Di Inggris, lebih dari 250 anggota parlemen lintas partai mendesak pemerintah mengambil sikap tegas. Di Prancis dan Jerman, opini publik semakin vokal menuntut akuntabilitas Israel.

Langkah ini juga bertujuan menyelamatkan prospek solusi dua negara, yang kian terancam oleh ekspansi pemukiman Israel dan aneksasi de facto Tepi Barat. Dengan lebih dari 147 negara anggota PBB sudah mengakui Palestina, tekanan terhadap Barat untuk mengikuti langkah global semakin besar.

Baca Juga : Jadi Inisiator Berdirinya Israel, Prancis Akan Akui Palestina di PBB

Respons Israel dan Blok Barat

Pemerintah Israel mengecam keras rencana ini, menyebutnya sebagai “hadiah bagi Hamas” yang dapat merusak upaya gencatan senjata. Ketegangan juga muncul dengan Amerika Serikat. Presiden Donald Trump, secara terbuka menolak langkah Inggris.

Pengakuan dari kekuatan G7 diyakini akan memperkuat posisi diplomasi Palestina di PBB dan membuka jalan menuju keanggotaan penuh. Inggris sendiri telah menangguhkan ekspor senjata ke Israel sejak 2024, sebuah sinyal tekanan politik yang semakin nyata.

Namun, perbedaan pandangan antara AS dan Eropa bisa memicu pecahnya konsensus Barat, menciptakan jalur diplomasi yang lebih independen dari pengaruh Washington.

Langkah Eropa ini juga menyoroti kegagalan Arab Peace Initiative (2002) yang dilemahkan oleh normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Teluk seperti UEA dan Bahrain. Prancis dan Inggris kini berupaya mengembalikan isu Palestina sebagai prasyarat utama perdamaian Timur Tengah.

Baca Juga : Prancis akan Akui Palestina, Apa Dampaknya?

Inggris Pendiri Negara Israel

Langkah ini menjadi ironi sejarah. Inggris, melalui Deklarasi Balfour 1917, adalah negara yang pertama kali membuka jalan bagi pendirian negara Israel dengan menjanjikan “tanah air bagi bangsa Yahudi” di Palestina, saat itu masih di bawah mandat kolonial Inggris. 

Kebijakan kolonial ini sering disebut sebagai fondasi konflik modern di Timur Tengah, karena mengabaikan hak politik mayoritas penduduk Palestina pada masa itu. Kini, lebih dari seabad kemudian, Inggris justru menjadi negara yang menantang kebijakan Tel Aviv dengan mengakui Palestina, sebuah langkah yang mencerminkan pengakuan atas kegagalan kebijakan masa lalu dan tanggung jawab moral atas penderitaan yang terus berlangsung.

Baca Juga : Jadi Inisiator Berdirinya Israel, Prancis Akan Akui Palestina di PBB

Jerman, sebagai sekutu utama Israel pasca-Holocaust, juga menghadapi dilema sejarah. Dukungan tak tergoyahkan terhadap Israel selama puluhan tahun kini berubah menjadi kritik terbuka terhadap agresi militer Israel di Gaza, mencerminkan perubahan paradigma bahwa keamanan Israel tidak boleh dijadikan pembenaran untuk pelanggaran hak asasi manusia secara masif.

Kini, keputusan pemerintah Inggris di bawah PM Keir Starmer untuk mendukung pengakuan Palestina dapat dibaca sebagai “pembalikan sejarah”, negara yang dulu menjadi fondasi pendirian Israel kini mengambil langkah untuk menyeimbangkan hak kedua belah pihak. 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 30 Jul 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 30 Jul 2025