Mengapa KPop Demon Hunters Gagal Diproduksi di Negeri Asalnya Sendiri?

Senin, 13 Oktober 2025 16:28 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

Menguak Alasan Kenapa KPop Demon Hunters Tidak Bisa Dibuat di Korea
Menguak Alasan Kenapa KPop Demon Hunters Tidak Bisa Dibuat di Korea (imdb)

JAKARTA – Baru-baru ini, Ejae, Audrey Nuna, dan Rei Ami sukses memukau penonton The Tonight Show lewat penampilan lagu mereka berjudul “Golden.”

Tak berhenti di situ, soundtrack KPop Demon Hunters juga mencatat prestasi gemilang dengan meraih sertifikasi Platinum di Amerika Serikat, dua kali menduduki puncak tangga lagu Billboard 200, serta masuk dalam nominasi Grammy Awards.

Setiap elemen dalam karya ini mencerminkan kekuatan gelombang Hallyu, dari energi dan emosi yang kuat hingga jiwa khas budaya Korea yang terasa di setiap nadanya.

Baca Juga: Salip Squid Game, KPop Demon Hunters jadi Tayangan Netflix Paling Banyak Ditonton

Hal ini membuat banyak orang berharap KPop Demon Hunters benar-benar merupakan produksi asli Korea, apalagi mengingat Korea memiliki anggaran K-content yang mencapai miliaran.

Namun, meskipun terasa menyakitkan, kenyataannya proyek seperti KPop Demon Hunters tidak bisa dibuat di Korea saat ini. Mengapa? Mari kita telusuri.

Anggaran Miliaran, Kreativitas Terkungkung

Jika kamu pernah membaca berita tentang melimpahnya dana K-Content Korea, mungkin terbayang industri kreatif di sana sedang sangat berkembang.

Kementerian Kebudayaan dan lembaga pemerintah telah menyalurkan lebih dari KRW 2,7 triliun untuk proyek konten antara 2022 hingga 2025. Secara teori, ini adalah mimpi yang menjadi nyata, sebuah negara yang berinvestasi besar dalam ekspor budayanya.

Namun, dengan anggaran K-Content sebesar itu, kenapa industri Korea masih kesulitan memproduksi blockbuster sendiri seperti KPop Demon Hunters? Jawabannya cukup menyakitkan, hampir separuh dari anggaran besar itu sebenarnya belum digunakan.

Laporan menunjukkan lebih dari KRW 1,4 triliun (sekitar US$1 miliar) masih menganggur. Mengapa? Karena aturan yang menentukan alokasi dana begitu ketat hingga ide-ide kreatif paling brilian pun tidak memenuhi syarat.

Bayangkan seperti ini, dunia kreatif Korea penuh dengan ide cemerlang, tapi jalur pendanaan hanya menerima hitam dan putih. Inilah alasan utama mengapa, saat ini, sebagian besar uang dalam anggaran K-Content Korea justru tetap tidak tersentuh.

KPop Demon Hunters: Penggemar Global Melihat Keajaiban, Korea Melihat Terlalu Berisiko

Dilansir dari Kpop Post, bagi banyak penggemar, baik lokal maupun internasional, KPop Demon Hunters terasa seperti perayaan dari segala hal yang mereka sukai, pahlawan wanita yang tangguh, musik penuh energi, dan Seoul futuristik yang berirama.

Namun, bagi para investor Korea, konsep seperti ini tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh dana yang dikendalikan pemerintah.

Investasi yang didukung pemerintah biasanya fokus pada kategori budaya yang dianggap “aman,” seperti dokumenter, drama sejarah, atau program edukasi. Sementara itu, film animasi apalagi yang menggabungkan metode produksi Barat dengan estetika K-pop dianggap terlalu berisiko.

Jadi, alih-alih bereksperimen secara berani, Korea lebih banyak mendanai proyek kecil dan jangka pendek yang jarang menembus pasar internasional.

Sementara, di Amerika Serikat, produser melihat ide yang sama bukan sebagai sesuatu yang berisiko, tetapi justru sebagai sesuatu yang revolusioner.

Birokrasi yang Membatasi Menghambat Kinerja

Ini bukan karena kurangnya semangat, rencana, atau niat. Hal itu tidak pernah menjadi masalah.

Bakat-bakat cemerlang di Korea Selatan tidak akan kesulitan menciptakan proyek berikutnya seperti KPop Demon Hunters, jika bukan karena sistem yang selama ini menjadi hambatan utama dalam alokasi anggaran K-Content.

Proses mendapatkan pendanaan budaya di Korea melibatkan berbagai kementerian, dewan peninjau, dan tahap persetujuan yang menilai proyek berdasarkan kriteria tradisional: profitabilitas, potensi ekspor, dan kesesuaian dengan citra nasional.

Inilah sebabnya kebebasan berkreasi kemudian terabaikan. Jika sebuah proyek tidak jelas menjanjikan keuntungan yang terukur, proyek itu biasanya ditunda atau dibatalkan.

Seorang investor pernah mengaku pernah mendanai sebuah drama dan tidak pernah mendapatkan sepeser pun keuntungan, sehingga kini ia memilih untuk menghindari proyek-proyek budaya sama sekali.

Ini menciptakan sebuah siklus, sebuah lingkaran setan yang mematikan eksperimen bahkan sebelum dimulai.

Inilah alasan mengapa studio di luar negeri, sering dipimpin oleh kreator diaspora Korea, turun tangan. Mereka mengambil ide-ide dari Korea, melepas semua birokrasi, dan mengubahnya menjadi apa yang kini disebut oleh penonton global sebagai “masa depan Hallyu.”

Saat Rasa Bangga Menjadi Pahit 

Jika kamu pernah merasa bangga melihat KPop Demon Hunters mendominasi Netflix, ada juga rasa getir yang muncul, pertanyaan tentang bagaimana jadinya jika proyek itu dibuat oleh kreator Korea, di studio Korea, dengan kepemilikan Korea.

Karena di balik angka streaming, yang dipertaruhkan adalah kedaulatan kreatif. Ketika sebuah cerita Korea dibuat di luar negeri, keuntungan, kendali, dan warisannya sering kali tetap berada di luar negeri.

Ini berarti ekosistem yang membangun Hallyu mulai dari K-pop hingga K-drama berisiko bergantung pada produksi asing untuk identitasnya sendiri.

Jadi, meskipun anggaran K-Content Korea terus meningkat, yang benar-benar dibutuhkan komunitas kreatif bukan sekadar uang lebih banyak, melainkan kebebasan yang lebih besar.

Harga dari Imajinasi yang Terkungkung

Beberapa orang mungkin menganggap hal ini sepele, tapi bagi banyak penggemar Hallyu, proyek cemerlang seperti KPop Demon Hunters seharusnya menjadi permata kebanggaan Korea.

Film ini seharusnya menjadi tonggak bersejarah yang menunjukkan pertemuan sempurna antara K-pop dan animasi. Alih-alih demikian, film ini justru menjadi cermin yang memperlihatkan kekurangan sistem kreatif di negara tersebut.

Mungkin suatu hari nanti, Korea akan berhenti menilai kreativitas berdasarkan risiko finansial dan mulai menghargainya atas kekuatan budayanya. Karena ketika kreativitas bisa berkembang dengan bebas, Hallyu tidak hanya menyebar, tapi juga berevolusi.

Dan saat hari itu tiba, ketika hambatan dalam anggaran K-Content akhirnya diatasi, KPop Demon Hunters berikutnya tidak akan perlu lagi terinspirasi dari Korea.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 12 Oct 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 13 Okt 2025