Ojek Online: Menyerap Pengangguran, Minim Perlindungan

Massa yang tergabung dalam Koalisi Ojol Nasional (KON)melakukan aksi damai dikawasan Jl Medan Merdeka. Mereka menyampaikan sejumlah tuntutan di antaranya meminta pemerintah untuk melegalkan ojek daring dan menuntut revisi serta penambahan Pasal Permenkominfo No 1 Tahun 2012 tentang layanan tarif pos komersial untuk mitra ojek daring dan kurir di Indonesia lebih rinci. Kamis 29 Agustus 2024. (Foto : Panji Asmoro/TrenAsia)

JAKARTA - Seperti yang ramai diperbincangkan di media sosial, dikabarkan ada ribuan pengemudi ojek online (ojol) se-Jabodetabek menggelar unjuk rasa di Istana Negara, kantor Gojek di Petojo, dan kantor Grab di Cilandak pada Kamis, 29 Agustus 2024. Aksi demonstrasi ini dijadwalkan berlangsung dari pukul 12.00 WIB.

Mereka menuntut agar pemerintah dan perusahaan transportasi online melegalkan status profesi driver ojol dalam undang-undang (UU). Selain itu, mereka juga meminta perusahaan aplikasi untuk menurunkan biaya potongan aplikasi.

Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Transportasi Daring Roda Dua Garda Indonesia Igun Wicaksono menyatakan, melalui aksi ini, pihaknya berharap agar pemerintah, perusahaan, dan aplikasi ojek online akan lebih menghargai dan memperhatikan kesejahteraan para pengemudi.

Menurutnya, para demonstran menuntut adanya kepastian hukum yang jelas bagi pengemudi ojol agar perusahaan tidak berbuat semaunya terhadap mitra ojol dan kurir.

“Tanpa ada solusi dari platform dan tanpa dapat diberikan sanksi tegas oleh pemerintah, hal inilah yang membuat timbulnya berbagai gerakan aksi protes dari para mitra,” paparnya.

Dilansir dari theprakarsa.org, ojek sudah ada di Indonesia sejak tahun 1960-an. Kemudian, pada tahun 2010 mulai diperkenalkan ojek online. Ojek online ini diatur melalui sebuah platform berbasis aplikasi.

Meski ojek online sudah ada selama beberapa tahun, kontroversi dan konflik masih sering muncul. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur secara menyeluruh, baik dari sisi transportasi maupun ketenagakerjaan. Penurunan angka pengangguran di kota-kota besar juga diklaim sebagai salah satunya disebabkan oleh banyaknya angkatan kerja yang terserap di sektor ini.

Isu transportasi online menjadi salah satu topik kontroversial. Tidak hanya di Indonesia, keberadaan perusahaan transportasi online juga menciptakan regulatory gap yang cukup besar di banyak negara.

Meskipun ojek online telah ada sejak tujuh tahun lalu, ketika Go-Jek pertama kali beroperasi di Indonesia pada tahun 2010, hingga kini belum ada regulasi yang mengaturnya. Tanpa adanya payung hukum yang jelas, masa depan ojek online tetap akan berada di areal abu-abu.

Penelitian Bank Dunia menggambarkan kondisi finansial pekerja lepas online (online gig workers) seperti driver ojol sangat sulit.

Penelitian Bank Dunia menunjukkan, mayoritas ojol dan pekerja online lainnya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang investasi dan layanan keuangan dibandingkan dengan pekerja informal lainnya. Sekitar 68% pekerja online telah memiliki rekening bank dan mampu menabung sebagian pendapatan mereka.

AksI demo ojol di Jakarta, Kamis 29 Agustus 2024 (Panji Asmoro/TrenAsia). 

Namun, meskipun mereka lebih melek finansial, mayoritas ojol dan pekerja online lainnya masih tergolong rentan karena tidak memiliki perlindungan sosial dan ketenagakerjaan.

Studi Bank Dunia menunjukkan, hanya 34% ojol dan pekerja online yang memiliki dana darurat. Bahkan, 60% dari mereka mengalami kesulitan dalam membayar utang, termasuk cicilan rumah.

Sekitar 17% pekerja online terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan. Meskipun platform digital menawarkan program asuransi tenaga kerja, hanya sedikit pekerja online yang ikut serta.

Pekerja online di Indonesia, yang termasuk dalam kategori pekerja tidak tetap, seharusnya bisa mengikuti program jaminan sosial seperti asuransi jiwa, jaminan tenaga kerja, dan pensiun. Namun, tanpa adanya perusahaan pemberi kerja, ojol dan pekerja online lainnya harus mendaftar dan membayar iuran secara mandiri.

Akibatnya, hanya 33% dari mereka yang berpartisipasi dalam program jaminan sosial, dengan tingkat keikutsertaan terendah pada program pensiun, yaitu hanya 17%.

Menurut jurnal berjudul “Perlindungan Hukum Driver Ojek Online Terhadap Mitra Kerja Transportasi Online,” ojek online sampai saat ini masih menjadi pilihan utama sebagai sarana transportasi antar daerah maupun antar kota.

Pemesanan ojek online tidak melibatkan tawar-menawar, tidak memerlukan pertanyaan mengenai tujuan, serta tidak ada lagi ketidakpastian harga. Semua proses sudah ditentukan melalui aplikasi dengan sekali klik di ponsel.

Sebagian besar driver ojek online tidak mendapatkan perlindungan keselamatan, meskipun mereka sering mengirimkan barang-barang yang berpotensi membahayakan.

Di jalan raya, sering terlihat driver Gojek yang mengangkut barang besar seperti sepeda, dan tak jarang mereka mengalami kecelakaan. Selain itu, pengemudi ojek online tidak hanya laki-laki, perempuan juga sering menjadi pengemudi dengan risiko pekerjaan yang lebih berat.

Menurut jurnal “Gojek dan Kerja Digital: Kerentanan dan Ilusi Kesejahteraan yang Dialami Oleh Mitra Pengemudi Dalam Kerja Berbasis Platform Digital,” kondisi superioritas operator penyedia aplikasi dalam pengelolaan usaha Gojek diperburuk oleh ketidakjelasan hubungan kemitraan antara mitra pengemudi dan perusahaan.

Hubungan antara mitra pengemudi dengan perusahaan aplikasi Gojek tidak dapat disebut sebagai ikatan antara pekerja dan pengusaha.

Meski awalnya Gojek menekankan, posisi pengemudi adalah sebagai mitra yang tidak dapat dipaksa, kenyataannya, para mitra ini hanya memiliki pilihan untuk mematuhi aturan yang ada atau tidak menjadi mitra Gojek sama sekali.

Selain itu, para pengemudi ojek ini tidak menerima gaji dari perusahaan aplikasi. Pendapatan mereka sepenuhnya bergantung pada jumlah penumpang yang mereka antar. Perintah untuk mengantar penumpang juga tidak berasal dari perusahaan, melainkan dari penumpang itu sendiri dan atas kesediaan pengemudi.

Selain itu, penentuan tarif oleh Gojek yang cukup menekan lebih menguntungkan Gojek dalam menarik pengguna dan pemodal, sementara mitra terus berada dalam posisi tertekan.

Dalam kondisi ini, tidak ada unsur hubungan kerja dalam relasi antara pengemudi dan perusahaan penyedia aplikasi, sehingga pengemudi tidak dapat disebut sebagai pekerja di PT. Gojek Indonesia. Secara legal formal, perusahaan aplikasi tidak memiliki kewajiban untuk memberikan hak pekerja kepada mitra pengemudi.

Adapun, kemitraan dalam industri transportasi dan kurir online, seperti di Gojek, Grab, Maxim, Shopee Ekspress, serta perusahaan platform sejenis di Indonesia, bersifat semu.

Alih-alih memberikan kebebasan dan kemerdekaan bagi para ojol, hubungan kemitraan ini justru menciptakan kondisi kerja yang sangat eksploitatif bagi para mitra atau pekerja gig (pekerja lepas atau sementara).

Kemitraan merupakan hubungan yang setara dan adil antara dua pihak atau lebih, yang bekerja sama berdasarkan prinsip saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.

Namun, meskipun tukang ojek online saat ini diklasifikasikan sebagai mitra oleh perusahaan platform, mereka tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh seorang mitra. Mereka disebut mitra, tetapi pada kenyataannya, mereka bekerja dalam hubungan kerja yang mirip dengan hubungan antara buruh dan pengusaha.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 30 Aug 2024 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 30 Agt 2024  

Editor: Redaksi Daerah
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories