Nasional
Peta Harta Taipan Indonesia April 2025: Energi Lama Bertahan, Teknologi Mengintip Peluang
JAKARTA - Indonesia sedang mengalami perubahan besar dalam peta kekayaan para konglomeratnya. Merujuk pada data terbaru dari Bloomberg Billionaires Index per 10 April 2025, posisi lima besar orang terkaya di Indonesia menunjukkan pergerakan yang cukup tajam.
Ada yang berhasil mempertahankan posisinya di puncak, namun ada juga yang harus turun drastis akibat tekanan pasar. Bahkan, beberapa di antaranya tercatat kehilangan kekayaan hingga ratusan triliun hanya dalam beberapa bulan.
Satu hal yang pasti, kekayaan bukan semata hasil penumpukan aset, melainkan cerminan dari kemampuan berstrategi, beradaptasi, dan menentukan arah investasi.
- BRI Siapkan Rp3 Triliun untuk Buyback Saham, Optimis dengan Kinerja Jangka Panjang
- Dukungan BRI Berhasil Dorong Usaha Kue Ini Makin Sukses
- Dukung Pengusaha Berdaya Saing Global, UMKM Songket Binaan BRI Sukses Tembus Pasar Internasional
Harta Kekayaan Konglomerat Indonesia April 2025
Low Tuck Kwong: Bertahan di Tengah Gempuran
Posisi puncak masih ditempati oleh Low Tuck Kwong, pendiri PT Bayan Resources Tbk. Meski kekayaannya turun hampir Rp23,5 triliun sejak awal tahun, pria yang dijuluki "Raja Batu Bara" ini tetap unggul dengan total kekayaan mencapai Rp444,86 triliun.
Di tengah tekanan global terhadap energi fosil, Low justru menunjukkan diversifikasi cerdas melalui kepemilikan saham di Metis Energy, perusahaan energi terbarukan asal Singapura. Tak hanya bertahan, Low menunjukkan arah baru, yakni konglomerasi yang mulai membuka diri pada transisi energi hijau.
Sukanto Tanoto: Konglomerasi Lintas Benua
Di peringkat kedua, Sukanto Tanoto menjadi simbol bagaimana jaringan bisnis lintas sektor dan lintas negara mampu menopang kekayaan di tengah gejolak ekonomi global. Lewat Royal Golden Eagle (RGE), Sukanto memiliki kerajaan bisnis yang tersebar di bidang minyak sawit (Apical), serat viscose (Sateri), gas dan energi (Pacific Oil and Gas), hingga properti kelas atas di empat kota besar dunia.
Meski kekayaannya turun Rp14,6 triliun sejak awal 2025, total aset senilai Rp327,35 triliun menempatkan Sukanto sebagai salah satu taipan paling tahan banting di Asia Tenggara. Strategi utamanya? Ya jelas, diversifikasi dan jaringan global yang sulit ditandingi.
Hartono Bersaudara: Konglomerat di Era Digital
Pasangan kakak-adik Budi dan Michael Hartono tetap berada di jajaran elite, meski kehilangan triliunan rupiah akibat koreksi pasar. Portofolio mereka tak sekadar soal rokok lewat Grup Djarum, tapi juga saham raksasa di PT Bank Central Asia Tbk (BCA), jaringan telekomunikasi PT Sarana Menara Nusantara Tbk, hingga e-commerce Blibli.
Keduanya mengalami penurunan nilai kekayaan hingga 18–19%, namun dengan nilai Rp308,88 triliun (Budi) dan Rp285,4 triliun (Michael), mereka tetap menjadi penentu arah ekonomi nasional. Dalam banyak hal, keduanya merepresentasikan era transisi dari konglomerasi konvensional ke era digital terintegrasi.
- Duel Raksasa Dunia, Perbandingan Ekonomi China vs Amerika
- Alasan Hubungan AS dan China Memanas
- Salah Langkah di Meja Perundingan, RI Bisa Rugi Besar Gara-gara Tarif AS
Prajogo Pangestu: Lelah oleh Volatilitas Global
Cerita berbeda datang dari Prajogo Pangestu, pemilik Barito Pacific. Selama tahun 2025 saja, kekayaannya terkikis hampir setengahnya Rp221,59 triliun lenyap dari nilai total aset. Dari semula memuncak sebagai salah satu orang terkaya Indonesia, kini ia bertengger di posisi kelima dengan total kekayaan Rp276,99 triliun.
Prajogo mengandalkan sektor petrokimia dan energi, terutama melalui PT Chandra Asri Pacific Tbk, PT Barito Renewables Energy Tbk, dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk. Namun ketergantungan harga saham pada sektor energi dan gejolak tarif dagang internasional membuatnya rapuh terhadap perubahan global. Meski demikian, dengan kendali langsung atas mayoritas saham perusahaan strategis, kekuatannya belum sepenuhnya luntur.
Simbol Zaman: Dari Batu Bara ke Data Center?
Meskipun belum masuk dalam lima besar, kehadiran nama baru seperti Otto Toto Sugiri menandai transisi menarik. Pendiri PT DCI Indonesia Tbk ini kini memiliki kekayaan Rp114 triliun, naik lebih dari 237% hanya dalam beberapa bulan terakhir.
Ia adalah pionir di sektor infrastruktur digital, khususnya pusat data (data center), dan menandai sinyal kuat bahwa masa depan kekayaan Indonesia mungkin tak lagi hanya soal tambang atau bank, tapi tentang data, cloud, dan teknologi.
Refleksi atas Ketimpangan
Di balik angka-angka fantastis tersebut, ketimpangan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024 mencatat rasio Gini nasional sebesar 0,381, dengan ketimpangan pengeluaran di perkotaan mencapai 0,402.
Realitas ini menjadi semakin mencolok ketika kekayaan satu individu melampaui total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) beberapa provinsi di Indonesia, misalnya Aceh yang hanya mencatat Rp65,36 triliun pada triwulan IV 2024.
Fenomena ini menggarisbawahi arah kapitalisme nasional yang masih terpusat pada konsentrasi kekayaan. Pertumbuhan yang bertumpu pada sektor padat modal mendorong akumulasi di tangan segelintir elite, sementara distribusi manfaatnya belum merata antar kelas sosial maupun antar wilayah.
Tanpa koreksi kebijakan yang serius, ketimpangan ini berisiko memperdalam eksklusi sosial dan memperlemah kohesi nasional. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pembangunan yang lebih inklusif, agar pertumbuhan ekonomi bukan hanya tinggi, tetapi juga adil dan berkelanjutan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Alvin Bagaskara pada 14 Apr 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 14 Apr 2025