Bagaimana Presiden-Presiden RI Menyikapi Israel? Simak Perbedaannya

Ketahui Perbedaan Sikap Presiden RI Terhadap Israel: Dari Soekarno hingga Prabowo (VPM)

JAKARTA— Presiden Prabowo Subianto menyatakan posisinya secara tegas terkait Israel dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Palestina dan Solusi Dua Negara yang digelar di New York, Amerika Serikat, pada Senin, 22 September 2025 waktu setempat.

Prabowo menegaskan membuka peluang mengakui Israel apabila mereka mengakui Palestina sebagai negara merdeka. “Kita harus menjamin status kenegaraan Palestina. Namun, Indonesia juga siap menyatakan, saat Israel mengakui kemerdekaan dan status kenegaraan Palestina, Indonesia akan segera mengakui Israel,” ujar Prabowo, dikutip dari Antara, Selasa, 23 September 2025.

Indonesia secara konsisten berpegang pada prinsip mendukung penuh kemerdekaan Palestina dan sampai saat ini belum menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Meski begitu, setiap presiden Indonesia dari waktu ke waktu menunjukkan perbedaan dalam cara pendekatannya terhadap Israel.

Hal itu mulai dari penolakan keras Soekarno, pragmatisme terselubung Soeharto, hingga keterbukaan kondisional yang diungkapkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan terbaru oleh Prabowo. Dikutip TrenAsia dari berbagai sumber, berikut  perkembangan sikap setiap presiden Indonesia dari waktu ke waktu.

Soekarno (1945-1967)

Presiden Soekarno menetapkan dasar kebijakan luar negeri Indonesia yang menolak mengakui kedaulatan Israel. Sikap ini berakar pada prinsip anti-kolonialisme yang sangat kuat pasca-kemerdekaan Indonesia.

Contoh konkretnya yakni ketika Soekarno menerima Mufti Agung Palestina, Haji Amin El Husni, pada 1948. Saat itu, Mufti Agung turut menyampaikan dukungan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Soekarno juga mengisolasi Israel di forum internasional. Dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955, Indonesia bersama Pakistan menolak keikutsertaan Israel dan justru mengundang perwakilan Palestina.

Bentuk-bentuk penolakan lainnya seperti Indonesia menolak bertanding melawan Israel dalam kualifikasi Piala Dunia 1957 yang berakibat mundur dari turnamen. Pada 1962, Indonesia menolak memberikan visa kepada kontingen Israel untuk Asian Games di Jakarta. Soekarno juga menyatakan keluar dari PBB pada 1964 karena dianggap menguntungkan Israel dan imperialisme.

Soeharto (1967-1998)

Secara resmi, pemerintahan Presiden Soeharto meneruskan kebijakan pro-Palestina. Namun pemimpin Orde Baru itu secara diam-diam membangun hubungan terbatas dengan Israel, terutama di bidang militer dan intelijen.

Melalui operasi rahasia seperti "Operasi Alpha" (1979-1982), Indonesia membeli 28 pesawat tempur A-4 Skyhawk dan 11 helikopter Bell-205 dari Israel. Personel militer Indonesia juga dikirim untuk pelatihan di Israel. 

Ada pula pertemuan tertutup antara Soeharto dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin di Jakarta pada 1993, menandakan adanya saluran komunikasi di tingkat tinggi 

Namun, Soeharto juga beberapa kali menyatakan sikap mendukung Palestina. Soeharto menerima pemimpin PLO Yasser Arafat pada 1984 yang menegaskan dukungan Indonesia. Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina yang dideklarasikan pada 1988.

BJ Habibie (1998-1999)

Tidak ada perubahan kebijakan atau inisiatif untuk membuka hubungan dengan Israel. Fokus pada stabilitas nasional usai didera krisis moneter 1998. 

Abdurrahman Wahid/Gus Dur (1999-2001)

Sikap berani ditunjukkan Gus Dur ketika berupaya membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tahun 2000, Gus Dur melontarkan gagasan normalisasi hubungan dengan Israel. Dia juga meresmikan hubungan perdagangan melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Gus Dur beralasan negara-negara Arab di sekitarnya, seperti Jordania dan Mesir, telah melakukan normalisasi. Dalam buku “Damai Bersama Gus Dur” (2010), terungkap dua alasan Gus Dur mendorong hubungan diplomatik dengan Israel. 

Pertama, Gus Dur ingin memastikan George Soros, seorang Yahudi, tidak mengacaukan pasar modal. Kedua, Gus Dur ingin meningkatkan posisi tawar Indonesia di Timur Tengah. Sebab, selama ini Timur Tengah tidak pernah membantu Indonesia menghadapi krisis.

Namun gagasan itu tak pernah terwujud kaarena mendapatkan penolakan keras dari dalam negeri. Meski demikian, pada dasarnya Gus Dur tetap melanjutkan kebijakan mendukung Palestina dan mencoba memaksa Israel mengakui Palestina sebagai negara merdeka.

Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Setelah sempat diwarnai gagasan “nyeleneh” di masa pemerintahan Gus Dur, Indonesia kembali bersikap konservatif ketika dipimpin Megawati Soekarnoputri. Tidak ada langkah menuju normalisasi hubungan. Megawati seakan tegak lurus dengan sang ayah, Soekarno, yang sangat keras terhadap Israel. 

Belum lama ini, Megawati juga mendukung kadernya yang saat itu menjabat Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menolak kehadiran Israel di Piala Dunia U-20 di Indonesia. “Kalian jangan penakut. Itu kan luar biasa ya (tampilnya tim Israel di Indonesia) kalau dipikir. (Ingat) pikiran Bung Karno,” ujar Mega Januari 2025. 

Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melanjutkan sikap konsisten Indonesia dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina. SBY menjalankannya dengan pendekatan diplomasi yang aktif dan vokal, terutama selama periode-periode konflik bersenjata di Gaza. SBY sempat mengutuk agresi militer Israel di Gaza tahun 2008 dan 2014.

Menanggapi krisis Gaza 2014, SBY menulis surat terbuka yang menggegerkan dunia. Dalam suratnya, ia menyatakan "tidak bisa memejamkan mata" menyaksikan korban jiwa di Gaza dan menyerukan gencatan senjata segera, bukan besok, apalagi lusa, serta penghentian operasi militer yang ia nilai "sudah melampaui batas kemanusiaan".

Di sisi lain, SBY juga menunjukkan sikap moderat untuk mewujudkan perdamaian. Dia menegaskan hubungan diplomatik hanya mungkin setelah perdamaian Israel-Palestina. Pemerintahannya secara konsisten mendukung solusi dua negara (two-state solution) sebagai satu-satunya jalan damai yang realistis, di mana Israel dan Palestina yang merdeka dan berdaulat hidup berdampingan.

Joko Widodo (2014-2024)

Dalam pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali memberikan kecaman keras terhadap serangan Israel ke wilayah Palestina. Pada 2024, dia menegaskan Israel harus menghentikan ofensif terhadap Israel dan mematuhi hukum internasional. Jokowi juga sempat mendesak Presiden AS, Joe Biden, agar meminta Israel menghentikan serangan ke Palestina.

Lewat KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia turut terlibat penyusunan resolusi untuk kemerdekaan Palestina, salah satunya penolakan atas penjajahan Israel. Hal itu menunjukkan komitmen Jokowi dalam menentang penjajahan Israel. 

Di sisi lain, Indonesia masih melakukan pengadaan barang dari hasil impor Israel di zaman Jokowi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari hingga September 2024, nilai impor tersebut mencapai US$42.483.945 (sekitar Rp676 miliar), meningkat tajam dibandingkan periode yang sama tahun 2023, yang tercatat sebesar US$14.427.432 (sekitar Rp228 miliar), dengan kenaikan mencapai 196%.

Prabowo Subianto (2024-2029)

Presiden Prabowo beberapa kali menunjukkan sikap lebih moderat untuk mewujudkan perdamaian Palestina-Israel. Dalam KTT di New York, Senin 22 September 2025 waktu setempat, Prabowo menyebut Indonesia siap mengakui Israel apabila negara tersebut mengakui kemerdekaan Palestina. “Kami juga akan mendukung seluruh jaminan atas keamanan Israel,” ujarnya. 

Prabowo menegaskan Deklarasi New York telah menyediakan jalan yang adil menuju perdamaian antara Israel dan Palestina. Deklarasi itu menyuarakan gencatan senjata antara Israel dan Hamas. 

Ia pun mengecam seluruh kekerasan terhadap rakyat sipil, termasuk perempuan dan anak-anak di Gaza. Diketahui,  puluhan ribu warga sipil di Gaza meninggal dunia akibat genosida oleh militer Israel.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Chrisna Chanis Cara pada 23 Sep 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 25 Sep 2025  

Editor: Redaksi Daerah
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories