Bukan Malas, Bengong Justru Bermanfaat untuk Otak

Studi: Bengong Ternyata Punya Manfaat untuk Otak (Freepik)

JAKARTA – Pernah dimarahi karena ketahuan melamun atau bengong? Jangan takut, kini Anda punya pembelaan ilmiah. Studi terbaru menunjukkan bahwa aktivitas bengong ternyata dapat mendukung proses pembelajaran.

Penemuan ini berasal dari penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan di Howard Hughes Medical Institute (HHMI), yang menganalisis 89 rekaman aktivitas neuron dari 19 tikus hasil rekayasa genetika.

Hasilnya adalah data dari puluhan ribu neuron yang menunjukkan bahwa bahkan saat kita tidak sedang fokus pada tugas atau tujuan tertentu, otak kita tetap bisa menyerap informasi yang berharga.

“Para ahli teori telah lama berpendapat bahwa otak mungkin menggunakan pembelajaran tanpa pengawasan,” ujar penulis utama sekaligus ilmuwan riset di HHMI, Lin Zhong, kepada IFL.

“Manusia jelas menggunakan pembelajaran tanpa pengawasan, kemampuan belajar yang kuat dan secara alami dimiliki setiap orang sejak lahir.”

Dilansir dari IFLScience, bayangkan kalian sedang berada di pusat perbelanjaan, bukan untuk membeli sesuatu secara spesifik, tapi hanya berjalan-jalan tanpa tujuan, sekadar melihat-lihat etalase toko.

Meskipun kalian merasa seperti otak sedang mati suri, sebenarnya otak kalian tetap aktif memperhatikan lingkungan sekitar, dan itu punya tujuan yang sangat penting.

“Bahkan saat kalian sedang melamun, berjalan tanpa tujuan, atau merasa tidak sedang melakukan sesuatu yang penting atau sulit, otak kalian kemungkinan besar tetap bekerja keras,” jelas pemimpin tim riset Marius Pachitariu dalam sebuah pernyataan.

“Otak terus membantu kalian mengingat di mana kalian berada, menyusun informasi tentang lingkungan sekitar, sehingga ketika kamu kembali fokus dan harus melakukan sesuatu, kamu sudah siap untuk memberikan yang terbaik.”

Dalam eksperimen pada tikus, tim peneliti menciptakan lingkungan realitas virtual. Lingkungan ini berupa koridor dengan berbagai tekstur yang dirancang menyerupai kondisi nyata. Beberapa tekstur dikaitkan dengan hadiah, sementara yang lainnya tidak memiliki imbalan apa pun.

Para tikus dibiarkan menjelajahi dunia virtual baru mereka selama beberapa minggu, sambil aktivitas neuron mereka direkam secara mendetail.

Seiring waktu, tikus-tikus ini mulai memahami pola dan sistem hadiah yang diterapkan, sementara para peneliti sesekali melakukan penyesuaian untuk menjaga stimulasi tetap menarik. Namun, saat data dianalisis dan visualisasi korteks otak dilakukan menggunakan alat buatan internal, tim peneliti mulai menemukan hasil-hasil yang sulit dijelaskan.

Tikus-tikus dibiarkan menjelajahi dunia virtual baru mereka selama beberapa minggu, sambil aktivitas neuron mereka direkam secara mendetail. Seiring waktu, tikus-tikus ini mulai memahami pola dan sistem hadiah yang diterapkan, sementara para peneliti sesekali melakukan penyesuaian untuk menjaga stimulasi tetap menarik.

Namun, saat data dianalisis dan visualisasi korteks otak dilakukan menggunakan alat buatan internal, tim peneliti mulai menemukan hasil-hasil yang sulit dijelaskan.

Tikus-tikus menunjukkan tanda-tanda adanya plastisitas neuron di bagian korteks visual otak, yakni kemampuan luar biasa otak untuk membentuk dan membentuk ulang koneksi antar-neuron sepanjang hidup, sebagai respons terhadap berbagai informasi yang terus-menerus diterimanya.

Namun pada tikus-tikus ini, plastisitas yang muncul tampaknya tidak sepenuhnya berkaitan dengan tugas yang sedang mereka pelajari.

Dalam penelitian ini, plastisitas otak yang ditunjukkan oleh tikus tampaknya tidak sepenuhnya disebabkan oleh tugas yang mereka jalani, seperti mencari hadiah atau mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam eksperimen.

Faktanya, tim peneliti menemukan bahwa tikus yang dibiarkan bebas menjelajahi koridor virtual selama beberapa minggu justru lebih cepat memahami sistem hadiah dibandingkan dengan tikus yang menjalani pelatihan formal.

Para peneliti menyebutkan, temuan ini secara intuitif mengindikasikan bahwa otak tidak selalu memerlukan pengajaran langsung untuk bisa belajar.

“Mengingat pembelajaran tanpa pengawasan terjadi sepanjang waktu, kita sebenarnya lebih banyak belajar hanya dengan mengamati orang-orang di sekitar kita, seperti keluarga dan teman, daripada melalui pengajaran langsung dari mereka,” ujar Zhong.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 21 Jul 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 21 Jul 2025  

Editor: Redaksi Daerah
Bagikan
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories