CIPS: Pengenaan PPN untuk Sembako Ancam Ketahanan Pangan

Aktivitas pedagang di kios los sembako Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis, 15 April 2021.

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang-barang kebutuhan pokok atau sembako, termasuk beras bisa menjadi ancaman ketahanan pangan.

Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, kebijakan ini berdampak terhadap peningkatan harga sehingga memberatkan bagi masyarakat berpendapatan rendah. Terlebih, di saat situasi pandemi saat ini.

“Lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia akan kesulitan membeli makanan yang bernutrisi karena harga pangan yang mahal,” mengutip keterangan resmi, Selasa, 15 Juni 2021.

Seperti diketahui, pemberlakuan PPN tersebut akan diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Cakupannya, PPN akan dikenakan pada barang kebutuhan pokok, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula konsumsi.

Padahal, pangan berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga. Belanja kebutuhan pangan bisa mencapai 56% dari pengeluaran masyarakat.

Felippa bilang, pengenaan PPN sendiri akan ditarik atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Maka, imbasnya tetap ke konsumen.

Sementara itu, Economist Intelligence Unit’s Global Food Security Index menyebut ketahanan pangan Indonesia masih berada di peringkat 65 dari 113 negara. Salah satu faktornya disebabkan oleh masalah keterjangkauan pangan yang menurun. Alhasil, ini bisa menimbulkan pertumbuhan masyarakat berpenghasilan rendah ke bawah garis kemiskinan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, per September 2020 jumlah penduduk miskin Indonesia bertambah 2,7 juta bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Angkanya mencapai 27,55 juta orang atau setara dengan 10,19% penduduk Indonesia.

Data BPS tersebut juga menunjukkan tren penurunan angka kemiskinan yang terjadi hingga 2019 menjadi terhambat karena pandemi. Selain itu, kenaikan harga juga mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat. Dengan daya beli yang menurun, masyarakat pun akan mengurangi belanja. 

(TrenAsia)


Related Stories