Defisit APBN Oktober 2021 Masih 3,29 Persen, Indef Beri Saran Ini

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis bahwa melalui keputusan Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) yang memangkas suku bunga acuannya akan mampu mendorong masuknya aliran modal asing ke Indonesia. / Antara Foto

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Oktober 2021 mencapai Rp548,9 triliun.

Defisit APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 3,29%, meningkat dari bulan sebelumnya yang sebesar 2,74%.

"Jadi kita melihat dari postur APBN ini ada perkembangan yang memang sesuai dengan keinginan kita yaitu menjadi lebih sehat namun tetap bisa menopang dan mendorong dan mendukung pemulihan ekonomi," katanya dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis, 25 November 2021.

Pada Agustus lalu, Sri Mulyani sempat merevisi defisit APBN 2021 menjadi 5,59% terhadap PDB. Defisit tersebut menyempit dari outlook awal sebesar 5,7%.

Ekonom Institute for Developments Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya memperkirakan bahwa defisit APBN 2021 masih terkonsolidasi hingga akhir tahun ini. Diperkirakan, defisit APBN 2021 berada di kisaran di bawah asumsi makro pemerintah sebesar 5,7% terhadap PDB.

Namun dia menggarisbawahi bahwa dengan rendahnya defisit yang dicapai hingga Oktober ini membuat pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk memaksimalkan ruang fiskal di dua bulan tersisa. Menurut dia, defisit yang sehat adalah yang sesuai dengan outlook awal.

"Masih ada 1,5 bulan sampai akhir tahun. Biasanya memang kebut di ujung, itu rutin. Karena realisasi yang APBN yang baik adalah yang sesuai rencana," katanya ketika dihubungi TrenAsia.com, Jumat, 26 November 2021.

Dia berharap asumsi makro pemerintah terkait penerimaan dan belanja tahun ini bisa tercapai sehingga mendorong pemulihan ekonomi nasional tahun depan.

Pasalnya sampai dengan saat ini realisasi belanja negara, baik itu belanja kementerian atau lembaga maupun dana transfer ke daerah masih sangat rendah. Di sisi lain, penerimaan pajak juga masih minim.

"Kalau belanja dan defisit lebih rendah dari asumsi atau target berarti planning-nya kurang baik," pungkasnya.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menambahkan, pemerintah juga perlu melakukan efisiensi belanja negara yang sampai dengan Oktober masih rendah.

Hal itu terutama ditunjukkan oleh realisasi dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih seret hingga November.

Per 19 November 2021, realisasi program PEN telah mencapai Rp495,77 triliun, atau sebesar 66,6% dari pagu anggaran PEN 2021.

Realisasi tertinggi terjadi di klaster Insentif Usaha atau pajak yang sudah mencapai 99,4% atau sekitar Rp62,47 triliun dari pagu Rp62,83 triliun. Akhir tahun, realisasinya diperkirakan bisa melampaui 100%.

Namun untuk klaster Perlindungan Sosial (Perlinsos) sudah mencapai 75,5% atau sekitar Rp140,5 triliun dari pagu Rp186,64 triliun. Selanjutnya, untuk klaster kesehatan telah terealisasi sebesar Rp135,53 triliun atau 63% dari pagu Rp214,96 triliun.

Selanjutnya, program PEN untuk klaster Program Prioritas telah disalurkan sebesar Rp75,44 triliun atau sekitar 64% dari pagu Rp117,94 triliun, sedangkan dukungan UMKM dan Korporasi sebesar Rp81,83 triliun atau sekitar 50,4% dari pagu Rp162,4 triliun.

"Ada masalah dari sisi belanja. Kita lihat ada problem penyerapannya, di PEN misalnya, belum normal, terutama untuk sektor kesehatan, UMKM. Kemudian belanja negara di belanja modal di bawah 50 persen, TKDD dan belanja sosial di komponen belanja kementerian," katanya.

Dengan tingkat serapan dana yang masih rendah, dia mengingatkan pemerintah agar tidak perlu terlalu buru-buru menerbitkan surat utang atau surat berharga negara (SBN) jika nantinya tidak terpakai seperti tahun lalu.

Hal itu untuk memastikan arus kas negara tetap positif. Pada Oktober, keseimbangan primer Indonesia tercatat sebesar Rp266,9 triliun, menurun 48% dibandingkan dari tahun lalu, atau sekitar 42,2% terhadap APBN yang sebesar Rp533,1 triliun.

Namun arus kas negara ini meningkat meningkat dari bulan September yang tercatat sebesar Rp198,3 triliun.

Sementara itu, penerbitan SBN mencapai Rp668,7 triliun, atau 55,4% dari target APBN sebesar Rp1.207,3 triliun. Tahun ini, pemerintah terlihat lebih hati-hati mengelola APBN sehingga SBN menurun 29,1% dibandingkan tahun lalu sebesar Rp943,5 triliun di tengah tekanan pandemi yang sangat kuat mempengaruhi ekonomi.

"Pemerintah harus lebih hati-hati menjual SBN di tengah cashflow yang rendah. Karena tahun lalu ambil SBN tapi tidak terpakai," harap Tauhid. (TrenAsia.com)

Editor: Sutan Kampai

Related Stories