DPR Layangkan Peringatan Soal Global Bond

Ilustrasi

Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melayangkan peringatan kepada pemerintah terkait penerbitan obligasi global (global bond) yang senilai US$ 4,3 miliar atau setara Rp 112 triliun (kurs Rp 16.000 per dolar AS).

Anggota Komisi XI DPR Ahmad Yohan mengingatkan pemerintah untuk memperhitungkan kemampuan pembayaran utang dengan berbagai pendekatan terhadap rasio utang yang sehat.

Menurutnya pemerintah semestinya tidak hanya melihat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)/loan to GDP ratio yang masih di bawah 60% sebagai indikator bahwa situasi keuangan pemerintah masih sehat.

“Pemerintah juga harus menghitung rasio utang terhadap pendapatan negara sebagai parameter riil untuk melihat kemampuan negara sebagai debitur,” kata Yohan saat dihubungi wartawan di Jakarta, Senin, 20 April 2020.

Dalam paparannya, rasio utang terhadap PDB merupakan model formulasi yang diterapkan Dana Moneter Internasional dan sudah menuai banyak kritikan. Sebab, PDB tidak merupakan perhitungan output seluruh unit usaha barang dan jasa dalam suatu negara selama satu periode waktu tertentu, sehingga tidak mencerminkan kondisi dana tunai sesungguhnya.

Padahal, jika melihat dari sisi penerimaan negara yang didominasi pendapatan pajak terjadi kekurangan (shortfall) dari target tahun anggaran 2019. Defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan juga masih lebar. Dengan demikian, jika dilihat dari sisi penerimaan, negara bisa jadi tidak memiliki kemampuan membayar seluruh kewajibannya (solvable).

“Bukan kita tidak setuju pemerintah berutang, tapi profil utang juga perlu dilihat dari berbagai pendekatan agar lebih solvable. Jangan sampai kita mengobral yield tinggi pada pemegang obligasi, hanya untuk menarik utang besar, tapi bermasalah ke depan dalam hal kemampuan membayar,” tegas Yohan.

Adapun, global bond yang diterbitkan pemerintah itu berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) dengan total nilai US$ 4,3 miliar atau setara Rp 112 triliun (kurs Rp 16.000 per dolar AS).

Global bond tersebut nantinya akan menjadi salah satu sumber pendanaan tambahan belanja yang disiapkan pemerintah untuk penanganan dan pemulihan dampak pandemi Covid-19 senilai Rp 405 triliun.

Penerbitan global bond dipecah menjadi tiga seri yaitu US$ 1,65 miliar dengan tenor 10,5 tahun dan imbal hasil (yield) 3,9%; US$ 1,65 miliar dengan tenor 30,5 tahun dan yield 4,25%; dan US$1 miliar bertenor 50 tahun dan yield 4,5%.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan Pandemic Bond yang diterbitkan pemerintah merupakan jenis investasi yang terletak below the line. Artinya, dana ini akan digunakan sebagai cadangan negara untuk menekan dampak Covid-19.

Selain itu, surat utang ini diluncurkan untuk menjaga ketahanan ekonomi dan sistem keuangan domestik. Pemerintah masih memilih skema peruntukkannya, baik diinvestasikan atau pembiayaan badan usaha milik negara (BUMN) melalui penyertaan modal negara (PMN).

Menanggapi hal itu, Yohan menyarankan agar peruntukkan global bond harus benar-benar menyentuh sektor-sektor ekonomi yang dapat benar-benar tumbuh dan padat karya selama masa pandemi, agar lebih efektif dan tepat sasaran.

Dengan demikian, dikatakan Yohan, penyerapan utang akan lebih produktif mendorong perekonomian secara konkret. Selama ini, DPR juga menyetujui banyak PMN kepada BUMN dari APBN, namun masih perlu dievaluasi dampaknya pada pertumbuhan riil ekonomi.

“Jangan sampai cuma mengalir ke sektor padat modal. Oleh sebab itu DPR juga akan mengawasi struktur peruntukkan pandemic bond ini,” kata dia.

Bagikan

Related Stories