Fenomena Boneka Labubu, Fakta di Balik Lonjakan Penjualannya

Fakta di Balik Tren Penjualan Boneka Labubu di Dunia (popmart.com)

JAKARTA – Pop Mart, produsen mainan Labubu yang tengah naik daun, menarik seluruh produknya dari peredaran di toko-toko Inggris. Langkah ini diambil menyusul laporan adanya kericuhan antar pembeli yang berebut mendapatkan Labubu.

Perusahaan tersebut juga menyatakan bahwa penjualan Labubu di 16 gerai mereka akan dihentikan sementara hingga bulan Juni.

Mainan boneka berbulu yang menyerupai makhluk seperti kelinci ini semakin populer setelah dikenalkan oleh sejumlah selebriti seperti Rihanna dan Dua Lipa.

Penghentian sementara penjualan boneka Labubu dilakukan untuk mengantisipasi potensi gangguan keamanan.

Pada Selasa, 20 Mei 2025, Pop Mart menyatakan tingginya minat pembeli menyebabkan lonjakan jumlah pelanggan saat stok baru tiba, sehingga menimbulkan antrean panjang di depan toko dan mesin Roboshop.

Di Inggris, boneka-boneka itu dijual seharga £13,50 (Rp296.960) hingga £50 (Rp1.099.855), meskipun edisi langka dijual seharga ratusan pound di situs penjualan kembali. Pada hari Jumat, eBay menawarkan boneka Labubu Pronounce Be Fancy Now seharga £1.299,99 (Rp28,5 juta).

Tren Penjualan Labubu

Labubu merupakan lini mainan boneka yang terinspirasi dari karakter-karakter yang pertama kali diciptakan pada tahun 2015 oleh seniman asal Hong Kong, Kaising Lung. Makhluk-makhluk kecil menyerupai elf, seperti Zimomo, Tycoco, dan Labubu sendiri, berasal dari seri buku anak-anak berjudul The Monsters karya Lung.

Dilansir dari Meltwater, pada tahun 2019, Lung bekerja sama dengan perusahaan ritel asal China, Pop Mart, untuk memproduksi dan menjual secara eksklusif boneka-boneka ini, yang menjadi awal dari fenomena mainan global berikutnya.

Pop Mart kemudian merilis versi gantungan kunci Labubu pada tahun 2023, memanfaatkan tren aksesori tas yang sedang naik daun dan semakin mendorong popularitas merek ini.

Seperti banyak tren saat ini, ledakan popularitas Labubu juga dipengaruhi langsung oleh Lisa BLACKPINK. Pada April 2024, ia mengunggah foto sedang memeluk boneka Labubu.

Foto tersebut, beserta unggahan lainnya yang menunjukkan dirinya menggunakan aksesori Labubu, langsung meningkatkan perhatian global terhadap produk ini dan memicu lonjakan permintaan.

Setelah sukses besar di Asia, demam Labubu pun menyebar ke Amerika Utara dan Eropa pada akhir 2024. Kini, Labubu bisa dikatakan sebagai salah satu tren konsumen terbesar di dunia.

Dilansir dari Unithree, keterlibatan Lisa membuat Labubu semakin disorot, dan keterbatasan ketersediaannya turut memicu rasa takut ketinggalan (FOMO) di kalangan penggemar.

Popularitas Labubu: Dijelaskan oleh Dua Strategi Utama

Kepopuleran Labubu dapat dijelaskan melalui dua strategi pemasaran utama: efek ikut-ikutan (Bandwagon Effect) dan efek eksklusivitas (Snob Effect). Meskipun tampak bertolak belakang, kedua pendekatan ini justru saling melengkapi dalam membangun daya tarik yang luas sekaligus kesan eksklusif terhadap Labubu.

1. Efek Ikut-Ikutan (Bandwagon Effect)

Efek ikut-ikutan mengandalkan kecenderungan orang untuk mengikuti tren yang sedang populer. Strategi ini menjadi salah satu faktor penting di balik kesuksesan Labubu. Berikut cara kerjanya:

Kekuatan Influencer: Ketika Lisa dari BLACKPINK mempromosikan Labubu, pengaruh globalnya yang sangat besar langsung menarik perhatian dunia terhadap mainan koleksi tersebut. Kolaborasinya dengan Labubu dan merek fesyen Miu Miu memicu rasa penasaran, mendorong para penggemarnya untuk ikut serta dalam tren tersebut.

Daya Tarik yang Luas: Setelah Lisa mempopulerkan Labubu, rasa takut ketinggalan (FOMO) pun muncul, membuat semakin banyak orang tertarik mengikuti tren ini. Model blind box dari Pop Mart yang menawarkan kejutan koleksi semakin menambah daya tarik Labubu.

2. Efek Eksklusivitas (Snob Effect)

Efek eksklusivitas bergantung pada nilai langka dan prestise, seperti halnya merek-merek mewah. Rilis Labubu yang terbatas dan harga yang relatif tinggi menciptakan kesan prestisius. Keterbatasan ini mendorong para penggemar untuk segera membeli mainan Labubu sebelum habis terjual, sehingga permintaan pun meningkat.

Dilansir dari Statista, Labubu dibuat oleh perusahaan China bernama Pop Mart yang terkenal dengan koleksi mainan blind box—artinya pembeli tidak tahu karakter mana yang akan mereka dapatkan saat membeli.

Terdapat juga varian rahasia Labubu yang peluang mendapatkannya hanya 1 banding 72. Karena mainan ini diproduksi oleh perusahaan China, mereka terkena dampak tarif bea masuk yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Trump.

Akibatnya, saat seri baru Labubu diluncurkan pada April 2025, konsumen di Amerika Serikat harus membayar hampir 28 dolar AS per kotak, naik dari harga seri sebelumnya yang sebesar 22 dolar AS.

Kenaikan harga ini tidak berlaku di negara lain. Namun menariknya, lonjakan harga tersebut tampaknya tidak menyurutkan minat pembeli, karena aksesori ini tetap habis terjual dalam hitungan menit.

Banjir di Media Sosial

Saat ini terdapat lebih dari 1,3 juta video di TikTok dengan tagar #labubu, yang menunjukkan betapa populernya mainan ini. Konsep blind box memberikan pengalaman yang terasa interaktif dalam video-video tersebut, di mana penonton seolah ikut penasaran bersama pembuat konten mengenai Labubu versi apa yang mereka dapatkan.

Tren di media sosial ini sebagian besar didorong oleh kalangan muda. Salah satu alasan mengapa Labubu begitu digemari oleh Gen Z mungkin karena jumlahnya yang terbatas—kebanyakan produk Labubu sudah habis terjual secara online, dan banyak toko dipenuhi antrean orang yang ingin membeli kotak misteri tersebut.

Eksklusivitas inilah yang kemungkinan besar membuat Labubu semakin viral di media sosial, karena mereka yang tidak sempat membelinya hanya bisa ikut merasakan tren melalui video-video dari orang-orang beruntung yang berhasil mendapatkannya sebelum kehabisan.

Keberhasilan Finansial

Keberhasilan Labubu tidak hanya terlihat di media sosial, tetapi juga tercermin dalam laporan keuangan Pop Mart. Meskipun perusahaan ini telah mengalami pertumbuhan pendapatan yang stabil dalam beberapa tahun terakhir, lonjakan tajam terjadi dari sekitar 6,3 miliar yuan pada tahun 2023 menjadi lebih dari 13 miliar yuan pada 2024 (setara dengan sekitar US$1,8 miliar dolar).

Jika dilihat lebih rinci, kategori produk yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pendapatan adalah ‘THE MONSTERS,’ yaitu lini IP di mana karakter Labubu dibuat. Kategori ini mencatat peningkatan penjualan sebesar 725% dari 2023 ke 2024, yang menunjukkan seberapa besar pengaruh media sosial terhadap popularitas gantungan tas ini.

Adapun dilansir dari China Daily, Koleksi terbatas baru ini telah mendorong keterlibatan konsumen yang signifikan, dengan antrean panjang di lokasi ritel di kota-kota besar di seluruh dunia, termasuk Los Angeles dan London.

Demam Labubu juga tercermin dalam kesuksesan digital. Pada 25 April, aplikasi resmi Pop Mart melesat naik 114 peringkat di App Store AS, mencapai posisi keempat dalam kategori keseluruhan dan posisi pertama di kategori belanja, menurut perusahaan.

Wang Ning, ketua dan CEO Pop Mart, menyatakan dalam laporan tahunan 2024 bahwa kesuksesan luar biasa Labubu tahun lalu mendorong pendapatan dari The Monsters mencapai 3 miliar yuan (setara US$415,2 juta), meningkat 726,6% dibandingkan tahun sebelumnya.

Franchise ini kini menyumbang 23,3% dari total pendapatan perusahaan, menjadikannya IP terbesar Pop Mart.

Cecilia Li, seorang mahasiswi asal China berusia 22 tahun yang tinggal di New York, mengatakan bahwa Pop Mart, terutama Labubu sedang sangat populer di Amerika Serikat.

Dia mengaitkan meningkatnya popularitas figur koleksi ini dengan budaya influencer. “Labubu sering muncul di tas-tas yang dibawa oleh selebritas seperti Rihanna dan influencer fesyen, terasa seperti popularitas yang sangat alami. Ini semacam ‘eksposur dari akar rumput’ yang sering kita lihat di RedNote atau TikTok,” ujarnya.

Li juga menambahkan salah satu daya tarik utama Labubu adalah penampilannya. “Ini adalah perpaduan antara lucu yang unik dan agak menyeramkan, dengan sentuhan gaya gotik,” katanya.

“Ini bukan imut yang biasa, tapi justru itulah yang membuatnya menarik bagi para trendsetter di sini. Dibandingkan dengan figur seperti Molly, Labubu lebih cocok dengan selera konsumen di AS.”

Perusahaan menarik perhatian publik lewat laporan keuangan kuartal pertama 2025 yang dirilis pada 22 April, mencatat pertumbuhan pendapatan tahunan sebesar 165–170%.

Lonjakan ini mendorong harga sahamnya menembus rekor baru, naik 12,5% hanya dalam waktu seminggu setelah pengumuman tersebut.

Rincian pendapatan menunjukkan bahwa pada kuartal pertama, penjualan domestik di China meningkat sebesar 95–100%, sementara penjualan internasional melonjak hingga 475–480%. Kawasan Amerika Utara mencatat pertumbuhan luar biasa sebesar 895–900%.

Dalam sebuah konferensi pers terbaru, Wang menyatakan optimisme bahwa pasar mereka di Amerika Utara dapat menghasilkan pendapatan sebesar 2,5 miliar yuan, menyamai total pendapatan grup pada tahun 2020.

Perusahaan memperkirakan pendapatannya pada tahun 2025 akan tumbuh lebih dari 50% dibanding tahun sebelumnya, melampaui 20 miliar yuan. Sementara itu, pendapatan dari pasar luar negeri diproyeksikan meningkat 100% tahun ini, mencapai lebih dari 10 miliar yuan.

Untuk mendukung pertumbuhan tersebut, Pop Mart mengumumkan reorganisasi besar-besaran pada pertengahan April sebagai bagian dari strategi globalnya.

Pembentukan kantor pusat regional di China, Amerika, Asia-Pasifik, dan Eropa menjadi sinyal komitmen perusahaan untuk memperluas kehadirannya di kancah internasional.

Justin Moon, yang ditunjuk sebagai co-chief operating officer, akan memimpin operasional di kawasan Asia-Pasifik dan Eropa.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 26 May 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 27 Mei 2025  

Editor: Redaksi Daerah
Bagikan
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories