Gen Z Jepang Ramai-Ramai Quiet Quitting, Apa Artinya?

Kenali Quiet Quitting, Tren Gen Z di Jepang Tak Mau Kerja Mati-matian (Freepik/Lifestylememory)

JAKARTA – Jepang, yang selama ini dikenal karena etos kerja tinggi dan loyalitas kuat terhadap perusahaan, kini tengah mengalami perubahan secara perlahan namun signifikan.

Mengutip Times of India, negara yang dulu lekat dengan budaya kerja keras, lembur tanpa imbalan, dan kepatuhan mutlak kepada atasan, kini mulai menunjukkan bentuk penolakan yang halus namun bermakna.

Perubahan ini tidak tampak dalam bentuk demonstrasi atau pengunduran diri besar-besaran, melainkan hadir dalam sikap tenang: menjaga jarak dengan sopan, menolak secara tersirat, dan memilih untuk bekerja sesuai perjanjian kerja tanpa berlebih.

Tren yang sedang populer ini dikenal sebagai quiet quitting. Istilah tersebut pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 2022, istilah itu awalnya merujuk pada para pekerja yang tidak lagi terlibat secara emosional dalam pekerjaan dan hanya menjalankan tugas sebatas kewajiban.

Di Jepang, fenomena tersebut bukan sekadar penolakan untuk bekerja melebihi jam kerja resmi, melainkan bentuk perlawanan dari generasi muda terhadap beban harapan turun-temurun dan janji kosong tentang penghargaan dari kerja berlebihan.

Mereka tidak mencari pujian atau promosi dari atasan. Kenaikan gaji yang disertai tanggung jawab tambahan pun tak menarik minat mereka, dan bonus berbasis kinerja tak lagi menjadi motivasi utama.

Generasi Z (Gen Z) yang kerap disebut sebagai “generasi pembangkang” sering menjadi sorotan karena pendekatan mereka yang tidak biasa terhadap dunia kerja.

Di tengah perdebatan apakah mereka adalah agen perubahan yang meruntuhkan norma kerja usang atau sekadar kelompok yang malas, satu hal yang pasti, merekalah masa depan. Mencari waktu untuk diri sendiri bukanlah bentuk perlawanan, melainkan kebutuhan.

Namun, ketika upaya penyeimbangan itu melampaui batas dan komitmen mulai berubah menjadi sikap acuh, muncul pertanyaan besar: Apakah fenomena quiet quitting di Jepang menandai evolusi budaya yang sudah lama dinantikan, atau justru retakan awal dari etos kerja yang dahulu begitu kuat?

Berdasarkan survei terhadap 3.000 pekerja berusia 20 hingga 59 tahun yang dilakukan oleh Mynavi Career Research Lab di Tokyo, sekitar 45% responden mengaku hanya melakukan pekerjaan sebatas yang diwajibkan.

Menariknya, kelompok usia 20-an tahun merupakan yang paling banyak mengakui bahwa mereka termasuk dalam kategori quiet quitter.

Sikap mereka bukan bentuk kemalasan luar biasa, melainkan ekspresi tegas lewat kedatangan tepat waktu, pulang ketika jam menunjukkan pukul 6 sore, serta penolakan terhadap lembur tanpa bayaran.

Mereka cukup berani untuk menolak tawaran kenaikan jabatan yang menuntut pengorbanan pribadi. Intinya, mereka memilih untuk bekerja hanya di jam kerja, suatu pilihan yang dianggap tidak biasa di dunia yang terus-menerus mengagungkan budaya kerja berlebihan dengan bayaran minim.

Bagi Issei, seorang pegawai kantoran berusia 26 tahun, alasannya cukup sederhana, ia ingin memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang disukainya.

“Aku tidak membenci pekerjaanku, dan aku sadar aku harus bekerja untuk membayar sewa dan tagihan. Tapi, aku jauh lebih senang jika bisa menghabiskan waktu bersama teman, traveling, atau menonton konser,” ujar Issei, yang meminta agar nama keluarganya tidak disebutkan.

Ia menambahkan, “Kakek dan bahkan orang tuaku dulu merasa mereka tidak punya pilihan selain bekerja keras dan menghasilkan uang sebanyak mungkin, tapi aku tidak mengerti pola pikir seperti itu.”

Pandangan ini mencerminkan suara dari generasi yang tumbuh di tengah gejolak ekonomi dan perubahan sosial.

Menurutnya, akan jauh lebih baik jika bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dan aktivitas pribadi di luar kantor. Ia yakin sebagian besar teman-temannya memiliki pandangan yang sama.

Budaya kerja tanpa henti yang dulu dianggap satu-satunya jalan menuju kesuksesan, kini terasa seperti sandiwara kosong bagi banyak anak muda. Sebagai gantinya, para profesional muda mulai merebut kembali waktu mereka—bukan karena malas, tapi sebagai bentuk perlindungan diri dan prinsip hidup.

Studi dari Mynavi menyimpulkan bahwa dorongan utama bagi mereka yang memilih quiet quitting adalah keinginan untuk memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri.

Beberapa lainnya merasa usaha mereka sudah sepadan dengan gaji yang diterima, sementara sisanya mengaku hanya melakukan pekerjaan sebatas yang diperlukan karena merasa kontribusi mereka tidak dihargai oleh perusahaan, atau karena tidak tertarik pada promosi maupun pengembangan karier.

Menurut Sumie Kawakami, seorang dosen ilmu sosial sekaligus konsultan karier bersertifikat, fenomena sikap lepas keterikatan dari pekerjaan ini bukanlah hal yang mengejutkan. Janji suci akan pekerjaan tetap seumur hidup yang dulu dijunjung tinggi kini perlahan memudar.

“Perusahaan semakin banyak memangkas biaya, bonus mengecil, dan kontrak permanen tak lagi terjamin,” jelas Kawakami seperti dikutip oleh TNN. “Loyalitas timbal balik yang dulu menjadi dasar hubungan antara pekerja dan perusahaan kini mulai menghilang.”

Pandemi Covid-19 turut memperparah ketidakseimbangan ini. Saat kerja jarak jauh mengaburkan batas antara kehidupan pribadi dan profesional, serta refleksi diri meningkat, banyak pekerja mulai mempertanyakan nilai dari pengorbanan tanpa henti.

Profesor sosiologi budaya di Universitas Chuo, Tokyo Izumi Tsuji, memiliki pandangan serupa berdasarkan pengalamannya berinteraksi dengan kalangan muda.

“Ada perubahan besar dalam cara generasi muda memandang pekerjaan, jika dibandingkan dengan generasi saya yang berusia 50-an,” katanya.

“Dulu, para pekerja sangat loyal terhadap perusahaan. Mereka bekerja hingga larut, melakukan lembur tanpa dibayar, dan jarang berpindah tempat kerja,” ungkap Tsuji.

“Sebagai gantinya, perusahaan menjamin kesejahteraan mereka dan keluarga hingga masa pensiun.”

Namun kini, anak-anak muda lebih memilih fokus pada hobi, menginginkan kebebasan, dan mengupayakan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Tsuji menilai perubahan ini sebagai hal positif setelah puluhan tahun tekanan besar diberikan pada pekerja oleh sistem korporasi Jepang.

“Ini harusnya jadi perkembangan yang baik,” ujarnya.

Dulu, banyak pekerja terlalu loyal terhadap perusahaannya hingga tak memiliki kehidupan di luar kantor. Kini, dengan lebih banyak waktu luang, mereka mungkin akan lebih aktif membelanjakan uang yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi atau yang lebih penting lagi menjalin hubungan dan membangun keluarga. Hal ini sangat berarti, mengingat populasi Jepang yang terus menyusut.

Keluar dari Bayang-bayang ‘Karoshi’

Kelebihan kerja menyebabkan kematian di berbagai belahan dunia, dan Jepang bukan pengecualian. Salah satu alasan paling mengkhawatirkan dari quiet quitting berakar pada bayang-bayang sejarah “karoshi,” kematian akibat bekerja berlebihan.

Sumie Kawakami menambahkan bahwa fenomena quiet quitting merupakan tanda perubahan positif bagi jutaan pekerja di Jepang.

“Saya menyambut baik perubahan ini, karena generasi pekerja terdahulu rela memberikan segalanya—bahkan lebih dari 100%—untuk perusahaan, namun konsekuensinya adalah karoshi,” ungkap Kawakami, mengacu pada istilah Jepang untuk kematian akibat kerja berlebihan.

Selama puluhan tahun, kenyataan pahit ini membayangi dunia korporat Jepang, hingga memuncak pada angka bunuh diri yang tinggi, yang banyak dikaitkan dengan jam kerja ekstrem.

Pada tahun 1998, tercatat 32.863 kasus bunuh diri di Jepang, banyak di antaranya dikaitkan dengan tekanan kerja dan jam kerja yang ekstrem. Jumlah itu tetap berada di atas angka 30.000 selama 14 tahun berikutnya, meskipun perlahan mulai menurun. Pada 2024, tercatat 20.320 kasus bunuh diri, menjadikannya angka terendah kedua sejak pencatatan dimulai pada 1978.

“Kini anak muda merasa mereka tidak harus bertahan dalam pekerjaan yang tidak membuat mereka bahagia atau terus mengorbankan waktu pribadi mereka,” kata Kawakami. “Dampaknya, mereka menjadi individu yang lebih bahagia.”

Pemalas atau Pembaru Diam-diam?

Apakah quiet quitting hanya tanda turunnya ambisi, ataukah justru respons yang wajar terhadap sistem usang yang terus mengagungkan kerja berlebihan?

Mungkin keduanya—gema kelelahan kolektif yang memudar sekaligus tanda lahirnya etika kerja baru yang lebih manusiawi. Fenomena ini mendorong Jepang dan mungkin dunia untuk meninjau ulang makna produktivitas dan arti sebenarnya dari bekerja.

Ketika perusahaan berusaha mempertahankan karyawan dan menjaga semangat kerja, pertanyaannya bukan lagi mengapa pegawai tampak tidak terlibat, tetapi apakah institusi siap berubah bersama mereka.

Pada akhirnya, para pelaku quiet quitting di Jepang bukanlah orang yang lari dari tanggung jawab, mereka sedang mendefinisikan ulang apa arti tanggung jawab itu.

Lewat penolakan mereka untuk terus-menerus melewati batas, bisa jadi mereka tengah membangun fondasi revolusi tempat kerja yang tidak terdengar lantang, tetapi terasa kuat dalam bisu yang bermakna.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 02 Jun 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 02 Jun 2025  

Editor: Redaksi Daerah
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories