Insentif Pajak Masa Pandemi, DJPb Sumbar: Bukan Memanjakan Wajib Pajak

Kasi Supervisi Proses Bisnis Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Sumatra Barat Harnida Eva Sukma Harun. Foto: KabarMinang

Program stimulus yang diberikan kepada masyarakat oleh Kementerian Keuangan RI masa pandemi Covid-19 sebagai upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) penting disikapi secara bijak.

Kasi Supervisi Proses Bisnis Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Sumatra Barat Harnida Eva Sukma Harun mengatakan ada hal yang perlu dipahami mengenai Peraturan Menteri Keuangan yang memberikan dorongan bidang perpajakan dalam kondisi pandemi Covid-19.

Dia menyebutkan ada beberapa aturan yang sangat berpihak kepada pelaku usaha, seperti yang paling terbaru adalah adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor.110/PMK/2020 di mana pemerintah memberikan stimulus pengurangan angsuran PPh pasal 25 sebesar sampai dengan 50%.

Namun sebelumnya dari peraturan terdahulu, pengurangan tersebut hanya sampai dengan 30%. Cara untuk mendapatkan juga sangat mudah, masih sama dengan peraturan terdahulu, hanya sekedar mengajukan permohonan secara online di jaringan yang sudah diumumkan kepada khalayak.

Menurutnya yang tidak kalah menarik dari insentif itu adalah apa yang ada dalam PMK-44/PMK.03/2020 tanggal 27 April 2020 lalu perihal Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak pandemi Covid-19 yang secara umum bisa diartikan seperti adanya pembebasan PPh pasal 21 karena ditanggung pemerintah pajaknya.

"Artinya hal yang akan ditanggung adalah Wajib Pajak dengan penghasilan bruto sebelum pajak kurang dari 200 juta setahun," jelasnya yang dikutip dari bahan materi terkait insentif pajak, Kamis (10/12/2020).

Selain itu adanya stimulus pajak untuk Usaha Menegah Kecil dan Mikro (UMKM) yang sebelumnya sebesar 0.5%, maka sejak pandemi ini sampai dengan akhir tahun akan ditetapkan menjadi 0%.

"Sungguh luar biasa dampak dari pandemi ini, baik dari sisi pelaku usaha maupun dari sisi penerimaaan pajak yang ada. Sehingga Kementerian Keuangan menghadirkan sejumlah program stimulus," ujar dia.

Eva juga menyampaikan bahwa berkaitan dengan PPh di masa pandemi ini ada tulisan seorang ekonom dari Universitas Negeri Jakarta, Haryo Kuncoro Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, mengatakan, di masa pandemi ini ada sebuah anomali (keanehan) dalam setoran pajak, khususnya Pajak Penghasilan Orang Pribadi.

Artinya bahwa di tengah perekonomian yang lesu terdampak wabah Covid-19 penerimaan negara dari pos pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) mencatatkan realisasi yang positif. Sepanjang Januari- Agustus 2020, jenis pajak ini menjadi andalan pemerintah di saat yang lain menurun.

Sementara pada laporan APBN yang dirilis akhir September 2020 mencatat penerimaan PPh OP menembus Rp 9,12 triliun.

"Ini juga menarik, kalau dilihat dari angka-angkanya saja. Kok bisa, di masa pandemi ini setoran pajak PPH Orang pribadi meningkat? Ternyata jawabannya adalah kebijakan insentif yang diberikan oleh pemerintah terkait PPh OP belum banyak dimanfaatkan," sebut Eva.

Berbeda dengan PPh Badan yang sangat kelihatan turunnya karena sebagian besar aktifitas ekonomi melambat bahkan terhenti, di lain pihak stimulus pajak juga dimanfaatkan secara optimal oleh kalangan Wajib Pajak Badan.

Untuk itu Eva mengatakan dari beberapa hal itu setidaknya ada dua hal yang perlu dipahami mengenai pajak di masa pandemi ini dan tujuannya diberikan stimulus kepada masyarakat.

Pertama adalah bahwa kehidupan tetap harus berjalan. Artinya bahwa roda perekonomian tetap harus dijalankan, meskipun tidak seperti sebelum adanya wabah ini.

"Kita harus sangat patuh dan taat terhadap protokol pelaksanaan kehidupan bersosial termasuk hubungan perekonomian di masa pandemi ini," ungkapnya.

Di sini tetap wajib diterapkan aturan 3M yang ada, yaitu tetap Memakai Masker, Mencuci Tangan dan selalu Menjaga Jarak apabila berkerumun dengan orang lain.

"Ini terasa mudah dan sepertinya sepele, tetapi diakui atau tidak akan sangat efektif apabila bawah sadar kita sudah terbentuk untuk melakukan hal tersebut," tutur dia.

Sehingga dengan perputaran ekonomi ini, maka diharapkan pajak tetap akan mendapatkan porsinya sebagai salah satu unsur utama dalam mengisi pundi-pundi pendapatan negara seperti ilustrasi di atas, yaitu lebih dari 80%.

"Jadi kalau sisi pajak tidak mampu memenuhi APBN tersebut, maka kondisi negara akan semakin rumit," tegasnya.

Eva menekankan bahwa sektor-sektor yang masih bisa untuk dipajak sudah diperhitungkan secara matang oleh pemerintah. Selanjutnya pemerintah tetap tidak menutup mata dengan banyaknya sektor yang terdampak adanya wabah pandemi ini.

Makanya pemerintah melalui Kementerian Keuangan beserta jajarannya berusaha memberikan stimulus melalui aturan-aturan yang diterbitkan dengan syarat yang sangat mudah dan bahkan sebagian bisa dilakukan dengan menggunakan jaringan internet cara permohonannya.

Bukan satu dua saja stimulus yang diberikan, tapi banyak yang diharapkan memang mampu menopang masyarakat dalam meminimalisasi dampak langsung dari pandemi ini dari sisi ekonomi.

"Intinya insentif pajak dari pemerintah terhadap masyarakat khususnya wajib pajak ini sudah diperhitungkan secara matang," sebut dia.

Kedua bahwa kondisi pandemi ini memang tidak ada seorangpun yang siaga untuk menghadapinya. Siapapun akan mengeluh dan merasa tidak mampu untuk melakukan apapun, tetapi seperti yang sering didengungkan oleh Presiden, bahwa penanganan pandemi harus jalan dengan maksimal.

"Tetapi di lain pihak kita juga tidak boleh mengabaikan kondisi perekonomian masyarakat dan perekonomian negara secara umum," ucapnya.

Eva juga menyebutkan bahwa insentif yang ada bukan memanjakan masyarakat, tetapi lebih kepada cara pemerintah menolong wajib pajak yang terdampak pandemi untuk tetap bisa menopang kehidupan pribadi keluarganya maupun perputaran ekonomi lainnya.

Bagikan

Related Stories