Kenapa Camilan Favorit Terasa Lebih Kecil? Ini Fenomena Shadow Inflation

Jajanan Favorit Anda Jadi Makin Kecil? Kenali Fenomena Shadow Inflation yang Merugikan (momogi)

JAKARTA – Pernah merasa bungkus camilan favorit masa kecil sekarang terasa lebih ringan? Atau saat makan Momogi, baru beberapa gigitan sudah habis, padahal dulu bisa dimakan ramai-ramai sambil duduk santai di pos ronda? Tenang, itu bukan cuma perasaan atau kenangan masa lalu. Fenomena ini dikenal dengan istilah shrinkflation, atau sering juga disebut shadow inflation.

Shrinkflation terjadi ketika produsen mengurangi isi atau ukuran produk, tapi tetap mempertahankan harga, bahkan kadang menaikkannya sedikit. Ini strategi yang umum digunakan untuk merespons kenaikan biaya produksi seperti bahan baku, logistik, hingga upah buruh tanpa terlihat mencolok di mata konsumen.

Fenomena ini diam-diam makin umum terjadi di Indonesia, terutama pada produk makanan ringan dan kebutuhan harian yang menjadi konsumsi luas masyarakat.

Daftar Jajanan Jadul yang Kini Menciut

Beberapa jajanan ikonik masa kecil generasi 90-an dan 2000-an kini terkena imbas shrinkflation. Berikut beberapa contohnya:

1. Momogi

Jajanan berbentuk stik jagung isi keju ini dulu terkenal dengan ukurannya yang tebal dan panjang. Tapi kini, ukurannya menyusut drastis dan bisa habis dalam dua hingga tiga gigitan.

“Dulu satu Momogi bisa bikin kenyang, sekarang cuma buat pengganjal lidah,” ujar Reza (31), yang rutin membeli camilan ini sejak SD.

Tak hanya ukuran, varian rasa juga makin terbatas. Rasa kejunya pun disebut beberapa konsumen tak lagi setajam dulu. Kemasannya memang lebih modern, tapi isi di dalamnya mengecewakan.

2. Beng-Beng

Wafer berlapis cokelat, karamel, dan rice crispy ini juga mengalami penyusutan secara perlahan. Jika dulu teksturnya padat dan memuaskan, kini terasa lebih ringan dan cepat lumer—indikasi pengurangan bahan.

Harga Beng-Beng juga naik signifikan. Jika pada awal 2000-an masih dijual sekitar Rp1.000, kini bisa mencapai Rp3.500–Rp4.000 per batang di minimarket.

3. Tango Mini

Tango Wafer Mini dalam kemasan sachet dulunya berisi 6–8 potong wafer berkrim. Sekarang, beberapa konsumen menyebut hanya mendapat 4–5 potong kecil dengan krim yang jauh lebih tipis.

Shrinkflation jenis ini sering luput karena perubahan tampak kecil, tapi bila dikalkulasi jangka panjang, konsumen membayar lebih mahal untuk lebih sedikit isi.

4. Yosan

Permen karet legendaris ini dulu terkenal bukan cuma karena rasa, tapi juga misi mengumpulkan huruf “Y-O-S-A-N” untuk ditukar hadiah. Kini, Yosan hanya tinggal nama. Ukurannya jauh lebih kecil, rasa cepat hilang, dan gimmick-nya pun tak lagi ada.

5. Choki-Choki

Cokelat stik cair ini adalah ikon jajanan sekolah. Tapi kalau kamu membeli sekarang, coba perhatikan bagian bawah stik yang sering kosong, serta panjang stik yang lebih pendek dari dulu.

“Isinya sering nanggung, padahal dulu penuh dari ujung ke ujung,” ujar Nita (29), yang mengaku kecewa saat membeli produk ini baru-baru ini.

Kenapa Konsumen Harus Peduli?

Shrinkflation bukan pelanggaran hukum, tapi ini membuat nilai uang yang dibelanjakan konsumen berkurang secara diam-diam. Meski ukuran atau isi dikurangi, label harga tidak berubah. Bahkan, dalam banyak kasus, justru naik.

Menurut laporan dari OECD dan Bank Indonesia, inflasi bahan makanan di Indonesia masih menjadi kontributor utama kenaikan harga. Per Juni 2025, inflasi tahunan sektor makanan dan minuman non-alkohol tercatat naik 4,8% secara year-on-year (YoY).

Produsen makanan ringan seperti wafer, permen, dan snack cepat saji menghadapi tekanan dari harga gula dunia yang naik 30% dalam dua tahun terakhir, serta harga kakao yang mencapai rekor tertinggi dalam 46 tahun terakhir pada April 2024. Harga kakao global bahkan naik 2 kali lipat hanya dalam setahun terakhir karena gangguan cuaca di Afrika Barat yang menyuplai 60% kebutuhan dunia.

Di sisi lain, konsumen tidak punya banyak pilihan karena produk-produk tersebut termasuk kategori impulse buying atau konsumsi cepat.

Tips agar Tidak Terjebak Shrinkflation

Cek berat bersih atau jumlah isi di kemasan, terutama jika dibandingkan dengan harga. Bandingkan satuan harga, bukan hanya harga total, perhatikan perubahan bentuk dan ukuran produk lama vs baru. Gunakan aplikasi pembanding harga dan ulasan dari konsumen lain dan jangan ragu mencoba produk alternatif yang menawarkan nilai lebih baik.

Di tengah tingginya inflasi pangan dan strategi produsen dalam mengatasi biaya produksi, konsumen dituntut lebih cerdas. Apalagi, generasi muda yang sedang belajar mandiri finansial akan lebih terdampak karena setiap pengeluaran kecil tetap berarti.

Bukan berarti harus berhenti jajan nostalgia, tapi penting untuk memahami konteks ekonomi di balik perubahan bentuk dan rasa jajanan masa kecil kita. Karena kadang, yang berubah bukan hanya selera, tapi juga strategi bisnis yang tak lagi semanis dulu.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Debrinata Rizky pada 27 Jul 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 28 Jul 2025  

Editor: Redaksi Daerah
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories