Keran Ekspor Pasir Laut Mengalir, Singapura di Baris Terdepan?

Keran Ekspor Pasir Laut Kembali Dibuka, Apakah Singapura Penikmat Utamanya? (Shutterstock)

JAKARTA - Pemerintah Indonesia dikabarkan akan kembali membuka keran ekspor pasir laut. Kebijakan ini telah terdapat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023. Kebijakan ini telah memicu kontroversi terkait dampak lingkungan dan ekonomi.

Artinya, peraturan anyar ini mengizinkan ekspor pasir laut dari hasil sedimentasi, meskipun bertentangan dengan regulasi sebelumnya yang melarang penambangan pasir laut demi melindungi ekosistem pesisir. Akan tetapi, terbitnya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 juga memperkuat kebijakan ekspor pasir laut. 

Lantas, siapa penikmat utama pasir laut ini?

Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan, permintaan pasir laut global sangat dipengaruhi oleh permintaan Singapura sebagai salah satu importir terbesar.  Laporan Celios memotret, Singapura secara konsisten mendominasi pasar impor pasir laut global antara tahun 2001 hingga 2022. 

Puncaknya terjadi pada 2008 ketika Singapura mengimpor pasir laut senilai US$1,4 miliar atau setara 42 juta ton m3.

Ketergantungan Singapura pada impor pasir laut dipengaruhi oleh proyek reklamasi yang mereka lakukan untuk memperluas wilayah daratan. Pada tahun 1976, luas wilayah Singapura adalah 527 km², tetapi pada 2020-an telah meningkat menjadi 728,6 km², yang menunjukkan pentingnya pasir laut dalam upaya peningkatan wilayah negara tersebut.

"Sehingga dari perspektif global, Singapura tidak hanya menjadi pemain utama dalam impor pasir laut tetapi juga secara signifikan mempengaruhi peran keseluruhan pasar impor pasir laut dunia," tulis Celios dalam laporannya dikutip pada Kamis, 3 Oktober 2024.

Pada 2022, impor global mencapai US$820 juta, dengan Singapura mengambil bagian sebesar US$265 juta, yang masih lebih besar dibandingkan importir lainnya. Hal ini menunjukkan besarnya peran Singapura dalam menggerakkan permintaan global akan komoditas ini, terutama dalam konteks reklamasi daratan yang mereka lakukan.

Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda menjelaskan, ketergantungan Singapura pada impor pasir laut membawa dampak yang luas baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan. Di satu sisi hal ini membuka peluang ekonomi bagi negara-negara eksportir seperti Indonesia. 

Padahal dampak permintaan yang besar dari Singapura juga mempercepat eksploitasi sumber daya alam yang bisa berdampak negatif terutama di negara-negara pemasok.

Salah satunya kerusakan ekosistem laut akibat penambangan pasir untuk memenuhi permintaan Singapura. Hal ini menjadi catatan Celios ke pemerintah mengingat konsekuensi jangka panjang yang ditimbulkan seperti erosi pantai dan kerusakan habitat laut. Sehingga menurut Huda, Indonesia sebenarnya lebih banyak dirugikan.

PDB Akan Anjlok

Dalam laporan yang sama, Celios memperkirakan produk domestik bruto (PDB) Indonesia berpotensi turun Rp1,22 triliun, hal ini imbas adanya kebijakan ekspor pasir laut yang kembali dibuka oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal ini diungkap Celios dalam laporan terbarunya, di mana dari hasil perhitungan dengan model input output bayang-bayang dampak negatif justru akan menghadang ekonomi Indonesia. Pendapatan masyarakat juga turut terdampak dari adanya kebijakan ini. Celios mengungkap, pendapatan masyarakat secara total mengalami penurunan dengan total sebesar Rp1,21 triliun.

Laporan ini juga menunjukkan bahwa setiap peningkatan ekspor pasir laut mengurangi produksi perikanan tangkap. Ditaksir pendapatan nelayan yang hilang Rp990 miliar dan berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor perikanan sebesar 36.400 orang.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 03 Oct 2024 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 09 Okt 2024  

Editor: Redaksi Daerah
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories