Ekonomi
LPS: BPR Banyak yang Tutup, Regulator Sarankan Merger dan Digitalisasi
Sejumlah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) diprediksi akan tutup pada tahun ini. Strategi pengembangan bisnis yang lemah, hingga permasalahan likuiditas menjadi malapetaka.
Ketua Lembaga Penjaminan Syariah (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan, dari beberapa kasus yang terjadi, tingginya selisih antara dana yang dikreditkan nasabah dengan ketersediaan dana saat benar-benar dibutuhkan, alias float menjadi penyebabnya.
"Bukan karena ekonomi yang memburuk, tapi karena float di BPR tersebut. 2022 malah hampir tidak ada BPR yang jatuh," ungkap Purbaya dilansir dari TrenAsia, Selasa (30/5/2023).
LPS memperkirakaan akan terdapat sebanyak enam sampai tujuh BPR yang akan mengalami kejatuhan di tahun ini, setelah sebelumnya pada 2022 tercatat hampir nihil BPR yang tutup.
Dalam praktiknya, menerapkan strategi pengembangan yang tepat, serta beradaptasi dengan perkembangan zaman di era digital, dianggap sebagai senjata pamungkas untuk menghindari kejatuhan BPR.
Merger Antar BPR
Kepala Kantor Regional 1 Otortias Jasa Keuangan (OJK) Jakarta dan Banten Robert Akyuwen mengungkapkan bahwa strategi konsolidasi seperti merger antar BPR dapat dilakukan untuk memperkuat permodalan.
"OJK ingin adanya penguatan permodalan dan dilakukannya konsolidasi. Kita ingin membuat industrinya menjadi kuat. Sekarang saya ingatkan, merger, kepemilikan tidak hilang atau mati perlahan-lahan," kata Robert.
Menurutnya, dengan berkurangnya jumlah BPR dan BPR Syariah seiring dilakukannya konsolidasi berupa merger, maka pengawasan yang dilakukan OJK turut akan semakin mudah dan baik, sehingga berujung pada menguatnya industri BPR itu sendiri.
Transformasi Digital
Selain itu, Robert turut menyoroti pendekatan yang dilakukan oleh BPR saat ini melalui cara-cara yang konvensional. Menurutnya, tidak ada pilihan lain untuk BPR selain melakukan digitalisasi pada layanannya, agar kelangsungan bisnis dapat semakin terjaga.
"Tidak ada pilihan untuk menjadi kuat dan kompetitif antara lain dengan mendigitalisasi, atau anda akan meninggal. Persoalan dengan BPR saat ini, pendekatannya sejak awal konvensional-klasik," tambahnya.
Sementara itu, PT BPRS Hijra atau Hijra Bank sebagai pelaku di industri BPR Syariah turut menyoroti pentingnya transformasi digital bagi BPR untuk bertahan, seiring dengan masifnya perkembangan teknologi yang ada.
Dalam keterangannya, Co-Founder Hijra Bank Dima A. Djanai mencontohkan kehadiran layanan digital Hijra Bank lewat mobile banking yang juga sudah dilengkapi dengan sederet fitur bermanfaat bagi nasabah.
"Hijra Bank membuat Hijra Box, fitur khusus untuk membantu masyarakat kelola keuangan dengan cermat sesuai dengan tujuan masing masing yang diinginkan," kata Dima.
Selain Hijra Box, terdapat fitur lainnya yang turut dihadirkan Hijra Bank di mobile banking untuk memenuhi kebutuhan pengguna, baik dari sisi finansial maupun gaya hidup.
Misalnya layanan pembiayaan perumahan syariah bernama HijraHome. Untuk menopang gaya hidup masyarakat saat ini, Hijra Bank juga mengeluarkan fitur Hijra Lifestyle, hingga HijraBiz Individual untuk memfasilitasi pembayaran ritel secara realtime.
“Kita harus tetap optimis dan mendukung berbagai inovasi keuangan syariah di Indonesia. Potensi yang begitu besar di Indonesia dapat membuat industri perbankan syariah terus tumbuh, bahkan semakin kuat. Semoga kehadiran Hijra Bank dapat menjadi trigger yang baik bagi BPR/BPRS lainnya untuk bertransformasi digital,” pungkas Dima. (starbanjar.com / Ahmad Husaini)