Menelaah Polemik Chairlift di Situs Warisan Dunia Candi Borobudur

Menguak Kontroversi Seputar Chairlift Candi Borobudur (Dok. InJourney)

JAKARTA - Pemasangan chairlift atau tangga berkursi di area Candi Borobudur, Magelang, menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat. Fasilitas ini dipersiapkan sebagai bagian dari dukungan terhadap kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, bersama Presiden Prancis, Emmanuel Macron.

Di tengah proses persiapan, muncul kekhawatiran di kalangan warganet terkait potensi dampak pemasangan chairlift terhadap keutuhan struktur Candi Borobudur, yang telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO.

Chairlift tersebut disebut sebagai sarana aksesibilitas yang dirancang untuk memudahkan lansia serta pengunjung dengan kebutuhan khusus. Pemerintah menyatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari komitmen untuk mewujudkan ruang publik yang inklusif dan ramah bagi semua kalangan, termasuk di kawasan bersejarah.

Chairlift dipasang tanpa melibatkan pengeboran atau pemasangan permanen, dan dapat dengan mudah dibongkar setelah tidak digunakan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa struktur batuan candi tetap terjaga.

"Jadi hanya ditaruh, didudukkan, ditaruh saja. Jadi nanti ketika misalnya itu selesai, itu bisa dibongkar dengan mudah," ujar Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan atau Presidential Communication Office (PCO), Hasan Nasbi di kantornya, Jakarta Pusat, Senin, 26 Mei 2025.

Pemasangan dilakukan oleh InJourney, perusahaan pengelola kawasan Taman Wisata Candi Borobudur. Pemerintah menekankan bahwa tidak ada lift ataupun eskalator yang dibangun di dalam kompleks candi, seperti yang sempat beredar di media sosial. 

Klarifikasi ini menurut Hasan penting untuk meredam spekulasi yang berkembang, terutama karena Borobudur merupakan simbol budaya yang sangat dijaga keberadaannya.

Penggunaan Chairlift di Situs Warisan Dunia

Chairlift sendiri bukan hal baru dalam pengelolaan situs sejarah dunia. Sejumlah situs warisan budaya di berbagai negara telah menggunakan teknologi serupa. 

Di Tembok Besar China, misalnya, tersedia kursi gantung dan kereta luncur untuk memudahkan pengunjung mencapai titik tinggi tertentu. Fasilitas ini dinilai tidak mengganggu kelestarian bangunan asalkan pemasangannya mengikuti prinsip konservasi dan tidak permanen. 

Contoh lainnya adalah Akropolis di Yunani serta Parthenon yang juga telah mengadopsi sistem serupa guna membuka akses bagi kelompok rentan.

Konteks kunjungan kenegaraan turut menjadi latar belakang pemasangan chairlift. Waktu kunjungan yang terbatas dan medan tangga batu yang menanjak menjadi pertimbangan praktis. 

Persiapan Kedatangan Macron

Chairlift menjadi solusi agar dua kepala negara dapat dengan cepat dan aman mencapai puncak candi tanpa mengurangi makna kunjungan atau mengorbankan nilai konservasi.

"Jadi Presiden Prancis tentu dalam kunjungan kenegaraan waktunya terbatas. Bukan kayak kita kalau liburan ke Borobudur seharian di situ. Waktunya ketat, waktunya terbatas, sehingga juga disiapkan fasilitas untuk memudahkannya agar bisa menapaki setiap tingkat yang ada di Borobudur," tambah Hasan. 

Sebagai bagian dari persiapan, Zona I kompleks Candi Borobudur ditutup sementara bagi wisatawan dari 27 hingga 29 Mei 2025. Penutupan ini dilakukan demi alasan keamanan serta mendukung kelancaran agenda protokoler. Meski bersifat sementara, langkah ini turut memicu keluhan wisatawan yang merasa akses mereka terganggu.

Sebagian kalangan menganggap langkah tersebut berpotensi membuka ruang bagi komersialisasi berlebihan dan bisa menjadi preseden yang merusak nilai sakral dan historis Borobudur. 

Kekhawatiran juga muncul terkait keberlanjutan pemanfaatan teknologi di situs budaya, terutama jika tidak disertai pengawasan dan konsultasi dengan ahli warisan budaya.

Kontroversi ini mencerminkan dilema yang dihadapi banyak negara dalam mengelola warisan sejarah: bagaimana menyeimbangkan antara keterbukaan akses bagi publik, kebutuhan praktis dalam acara resmi, dan pelestarian situs. 

Di satu sisi, aksesibilitas adalah hak; di sisi lain, pelestarian adalah kewajiban. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang menyangkut perubahan di situs warisan budaya perlu melalui kajian mendalam, melibatkan para ahli, serta mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap warisan generasi mendatang.

Borobudur bukan hanya peninggalan sejarah, tetapi juga lambang jati diri bangsa. Upaya menjaga kelestariannya harus berjalan seiring dengan semangat membuka ruang bagi semua kalangan untuk menikmatinya. Kontroversi chairlift ini menjadi pengingat bahwa kemajuan teknologi perlu tetap berpijak pada etika pelestarian budaya.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 28 May 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 27 Mei 2025  

Editor: Redaksi Daerah
Bagikan
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories