Mengapa 2 Mei Jadi Hari Pendidikan Nasional? Ini Sejarahnya

Mengulik Sejarah Hari Pendidikan Nasional yang Diperingati Setiap 2 Mei (trenasia.com)

JAKARTA – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) merupakan salah satu momen penting dalam sejarah bangsa yang diperingati setiap tanggal 2 Mei. Peringatan ini memiliki arti mendalam bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Hardiknas menjadi kesempatan bagi seluruh insan pendidikan untuk mengenang jasa para tokoh pendidik serta memperkuat tekad dalam upaya mencerdaskan bangsa.

Pemilihan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional didasarkan pada hari lahir Ki Hadjar Dewantara, tokoh perintis pendidikan yang dihormati sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Ia lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta.

Sejarah Hari Pendidikan Nasional

Penetapan Hardiknas sebagai hari nasional tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959 yang dikeluarkan pada tanggal 16 Desember 1959.

Ki Hadjar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi. Sepanjang hidupnya, ia dikenal sebagai seorang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda, khususnya dalam bidang pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara berasal dari keluarga bangsawan Paku Alaman, namun memilih untuk hidup sederhana dan dekat dengan rakyat. Setelah sebelumnya aktif dalam dunia politik dan dikenal karena kritik tajam terhadap kebijakan kolonial Belanda, ia akhirnya memutuskan untuk mengabdikan dirinya di bidang pendidikan sebagai medan perjuangan.

Ki Hadjar Dewantara menentang kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memberikan akses pendidikan kepada anak-anak keturunan Belanda atau kalangan kaya.

Menurutnya, akses pendidikan merupakan hak bagi semua orang. Lebih jauh lagi, melalui pendidikan, Indonesia bisa menjadi bangsa yang cerdas, mandiri, dan terbebas dari penjajahan.

Salah satunya dalam artikel “Als Ik Een Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda). Kritik yang disampaikannya membuatnya diasingkan ke Belanda, namun di sana ia justru memperdalam pengetahuannya tentang pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara diasingkan ke Belanda bersama dua rekannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya dikenal sebagai Tiga Serangkai.

Setelah kembali dari Belanda, Ki Hadjar Dewantara mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama Taman Siswa pada 3 Juli 1922, sebuah lembaga pendidikan yang terbuka untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang status sosial.

Usai Indonesia merdeka, atas dedikasinya, Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan filosofi “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani,” yang berarti di depan memberi teladan, di tengah memberikan bimbingan, dan di belakang memberikan dorongan.

Semboyan terakhir kini menjadi moto resmi Kementerian Pendidikan, yang mencerminkan betapa besar pengaruh pemikiran Ki Hajar dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Menurut Darsiti Soeratman dalam buku Ki Hajar Dewantara (1989), disebutkan keberadaan Taman Siswa tidak selalu mendapat sambutan baik dari pemerintah kolonial.

Sebaliknya, Belanda justru merasa terancam oleh pengaruh pendidikan yang dibawa oleh Taman Siswa, sehingga mengeluarkan kebijakan bernama “Ordonansi Sekolah Liar”—sebuah peraturan yang membatasi keberadaan sekolah-sekolah non-pemerintah.

Namun, Ki Hajar tidak tinggal diam. Ia menghimpun dukungan dari berbagai kalangan, seperti tokoh agama, kaum perempuan, organisasi politik, hingga para pejuang sosial. Bersama-sama, mereka menentang ordonansi tersebut demi mempertahankan hak rakyat atas pendidikan yang bebas dan merdeka.

Keberhasilan Ki Hajar Dewantara tidak hanya menginspirasi bangsa Indonesia, tetapi juga menarik perhatian dunia. Para cendekiawan dan tokoh pendidikan dari berbagai negara seperti Belanda, Inggris, Jepang, Australia, hingga Amerika Serikat datang untuk mempelajari sistem pendidikan Taman Siswa.

Bahkan, Rabindranath Tagore, pujangga ternama dari India, menyempatkan diri berkunjung ke Yogyakarta demi melihat langsung gagasan dan perjuangan Ki Hajar Dewantara.

Taman Siswa pun berkembang pesat, membuka cabang di berbagai daerah seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga Ambon, sehingga menjadi simbol pendidikan nasional yang inklusif dan menjangkau masyarakat di luar Pulau Jawa.

Ki Hadjar Dewantara meninggal pada 26 April 1959. Untuk menghormati jasa-jasanya di bidang pendidikan di Indonesia, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 01 May 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 02 Mei 2025  

Editor: Redaksi Daerah
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories