Nasional
Mengupas Asal-usul Pertamina dan Polemik di Balik Pendirian Awalnya
JAKARTA - Pertamina adalah salah satu BUMN terbesar dan paling strategis di Indonesia. Di balik perannya yang penting dalam mengelola energi nasional, perjalanan Pertamina dipenuhi dengan berbagai dinamika, dari semangat nasionalisasi, masa kejayaan, hingga krisis besar yang sempat mengguncang kondisi keuangannya.
Dilansir dari berbagai sumber, awal mula Pertamina berakar dari tekad bangsa Indonesia untuk menguasai sumber daya minyak dan gas bumi setelah merdeka. Pada masa penjajahan, industri minyak dikuasai oleh perusahaan asing, terutama Royal Dutch/Shell yang telah beroperasi sejak era Hindia Belanda.
Pasca Proklamasi 1945, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam harus dikuasai negara demi kemakmuran rakyat. Prinsip ini menjadi fondasi lahirnya perusahaan minyak nasional.
Pada tahun 1957, pemerintah menasionalisasi aset Shell dan mendirikan Permina, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Ibnu Sutowo, sebagai perusahaan minyak negara pertama. Beberapa tahun kemudian, pada 1961, berdirilah Pertamin sebagai perusahaan minyak negara lainnya.
Untuk memperkuat koordinasi dan efisiensi, pada Agustus 1968 pemerintah menggabungkan kedua perusahaan tersebut menjadi PN Pertamina. Penggabungan ini menjadi tonggak penting terbentuknya perusahaan minyak dan gas nasional yang terintegrasi hingga kini.
Baca juga : Kekayaan Elon Musk Capai Rp8.150 Triliun, Setara 2,25 Kali APBN Indonesia
Masa Awal dan Ujian Besar (1968–1970-an)
Di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo, Pertamina berkembang pesat. Tidak hanya berfokus pada sektor minyak dan gas, perusahaan ini juga merambah ke berbagai sektor lain seperti pelayaran tanker, penerbangan (Pelita Air Service), semen, pupuk, hingga real estate.
Pertamina bahkan membangun Gedung Bina Graha di Jakarta yang kemudian digunakan sebagai kantor Presiden. Kala itu, Pertamina dianggap simbol kemajuan dan kemandirian bangsa.
Namun di balik kemegahan tersebut, ekspansi yang agresif dan minim pengawasan keuangan membawa perusahaan ke jurang krisis. Pada 1975, terungkap bahwa Pertamina memiliki utang luar negeri lebih dari US$10 miliar, atau sekitar 30% dari Produk Nasional Bruto (PNB) Indonesia kala itu.
Krisis ini menjadi salah satu skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Pemerintah akhirnya turun tangan melakukan bail-out besar-besaran untuk menyelamatkan Pertamina dan mencegah krisis ekonomi nasional. Ibnu Sutowo kemudian diberhentikan dari jabatannya.
Krisis 1975 menjadi titik balik penting dalam sejarah Pertamina. Sejak saat itu, pemerintah mulai menata ulang struktur dan tata kelola perusahaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, status Pertamina diubah dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) pada tahun 2003, dengan nama resmi PT Pertamina (Persero).
Transformasi ini menggeser peran Pertamina dari sekadar lembaga negara menjadi entitas bisnis komersial yang harus bersaing di pasar bebas.
Memasuki abad ke-21, Pertamina mulai berbenah diri dengan meningkatkan transparansi, efisiensi, dan tata kelola perusahaan (good corporate governance). Meski begitu, sejumlah kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang masih kerap mencuat hingga era 2020-an, menandakan bahwa reformasi tata kelola belum sepenuhnya tuntas.
Baca juga : CBRE Bikin Heboh Bursa, Cuan Triliunan Mengalir ke Para Sultan
Pertamina mewarisi infrastruktur dan sumber daya manusia yang menjadi tulang punggung industri energi Indonesia. Sejak awal berdirinya, Permina mendirikan Sekolah Kader Teknik di Pangkalan Brandan dan Akademi Minyak di Bandung (1962) untuk mencetak tenaga ahli migas nasional.
Namun di sisi lain, pola patronase dan tata kelola yang lemah sejak era 1970-an menjadi “hantu” yang terus menghantui perusahaan ini. Sejumlah skandal, mulai dari kasus pengadaan kapal hingga dugaan penyimpangan proyek kilang, menjadi bukti bahwa Pertamina masih menghadapi tantangan besar dalam membangun budaya korporasi yang bersih dan profesional.
Sejarah panjang Pertamina mencerminkan dua sisi perjuangan bangsa Indonesia, di satu sisi, semangat untuk meraih kedaulatan energi nasional, dan di sisi lain, tantangan besar dalam membangun tata kelola yang profesional, bebas korupsi, dan berdaya saing global.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 10 Oct 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 10 Okt 2025