Milenial dan Gen Z Sulit Beli Rumah? Ternyata Ini Penyebabnya

Ternyata Ini Alasan Milenial dan Gen Z Belum Bisa Beli Rumah (unsplash.com)

JAKARTA – Setiap orang tentu memiliki impian untuk memiliki rumah sendiri. Namun, bagi generasi muda saat ini, impian tersebut tampaknya sulit untuk diwujudkan.

Rumah sering kali dipandang sebagai aset investasi karena nilainya yang cenderung meningkat. Namun, generasi milenial dianggap mengalami kesulitan dalam membeli rumah pertama mereka. Mereka masih belum sepenuhnya menyadari pentingnya berinvestasi, terutama di sektor properti.

Dilansir dari OJK, bagi kebanyakan Milenial dan Gen Z, memiliki properti bukanlah prioritas utama. Mereka lebih menekankan pada gaya hidup seperti pakaian, makanan, minuman, traveling, dan hobi. Rumah seringkali dianggap sebagai prioritas terakhir dan bukan suatu kebutuhan mendesak untuk direalisasikan.

Mereka lebih mengutamakan untuk menikmati hidup dan melakukan traveling untuk mendapatkan pengalaman baru. di samping itu, kenaikan harga rumah menjadi salah satu faktor yang menyulitkan generasi Milenial dan Gen Z untuk memiliki rumah. Namun, ada juga faktor lain yang menyebabkan kesulitan mereka dalam memiliki rumah.

Tingginya harga rumah yang tidak sebanding dengan pendapatan generasi muda saat ini menjadi tantangan utama yang menjelaskan mengapa banyak dari mereka mengalami kesulitan dalam memiliki rumah.

Alasan Milenial dan Gen Z Belum Bisa Beli Rumah

Suasana perumahan cluster di kawasan Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu, 2 Januari 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Berikut beberapa alasan generasi milenial belum memiliki rumah:

1. Lebih Murah Sewa Rumah

Gen Z cenderung berpikir menyewa rumah lebih murah daripada membelinya, sehingga kepemilikan rumah bukan lagi prioritas. Berdasarkan survei Property Perspective from Gen Z yang dilaporkan oleh Jakpat, 36% dari 587 responden memilih menyewa rumah karena belum siap secara finansial untuk membeli rumah.

Alasan yang diberikan termasuk harga sewa yang lebih terjangkau (22%), lokasi yang strategis (18%), kemudahan mobilisasi kerja (11%), dan alasan lainnya (49%).

2. Ketimpangan Gaji dan Harga Rumah

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti masalah ini dengan menggarisbawahi kesenjangan antara kebutuhan perumahan dan daya beli generasi muda. Data BPS menunjukkan, rata-rata upah buruh nasional hanya sebesar Rp2,94 juta per bulan pada Februari 2023, membuat kebanyakan pekerja sulit mengakses KPR.

Simulasi berdasarkan data upah buruh menunjukkan pekerja dengan gaji Rp2,9 juta per bulan hanya dapat mengakses KPR hingga Rp103,9 juta. Sementara, harga median rumah tipe kecil mencapai Rp267,08 juta, menunjukkan pekerja dengan pendapatan rata-rata mengalami kesulitan untuk memenuhi syarat Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

3. Syarat KPR Tidak Terpenuhi

Saat ini, banyak bank menawarkan KPR sebagai solusi untuk memfasilitasi pembelian rumah dengan lebih mudah. KPR bertujuan untuk membantu meringankan beban finansial awal bagi orang-orang yang ingin memiliki rumah.

Meski terlihat sebagai jasa yang bermanfaat, KPR memiliki prosedur di mana calon pembeli harus mengajukan permohonan kepada bank dan mendapatkan persetujuan dari bank untuk menggunakan KPR. Untuk mendapatkan persetujuan, calon pembeli harus mematuhi berbagai syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh bank.

Salah satu syarat utama untuk mendapatkan KPR adalah memiliki penghasilan tetap. Generasi Z dan Milenial seringkali menghadapi kendala dalam memenuhi syarat ini karena banyak yang belum memiliki pekerjaan tetap, sering berpindah tempat kerja, atau menjalankan karir sebagai freelancer.

Oleh karena itu, salah satu solusi untuk membantu Generasi Z dan Milenial dalam membeli rumah cukup sulit untuk didapatkan.

4. Rumah dan Tanah Kosong yang Dikuasai oleh Generasi Sebelumnya

Banyak rumah dan lahan kosong yang dimiliki generasi Baby Boomers tetapi tidak digunakan. Pada saat harga rumah masih relatif rendah dan sebagian besar masyarakat masih bisa membelinya dengan mudah, Baby Boomers sering kali membeli rumah dan lahan sebagai bentuk investasi.

Akibatnya, banyak rumah dan lahan kosong yang dibiarkan untuk dijual kembali dengan harga yang semakin tinggi setiap tahunnya. Situasi ini menguntungkan pemilik properti tersebut, tetapi membawa kesulitan besar bagi Gen Z dan Milenial.

Harga rumah yang terus naik membuat Gen Z dan Milenial kesulitan mengikuti kenaikan tersebut, terutama karena tingkat kenaikan gaji jauh lebih lambat dibandingkan kenaikan harga rumah setiap tahunnya.

5. Angka Harapan Hidup Naik

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, angka harapan hidup masyarakat Indonesia meningkat dari 73,4 tahun pada 2020 menjadi 73,5 tahun pada 2021. Data ini menunjukkan peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, kebutuhan akan tempat tinggal juga meningkat, yang pada gilirannya mendorong kenaikan harga rumah.

6. Masih Ada Cicilan Lain

Selain itu, terdapat 10,44% anak muda yang menyatakan bahwa mereka masih memiliki cicilan lain, sehingga membeli rumah belum menjadi prioritas saat ini.

7. Gaya hidup

Khususnya di kota-kota besar, tidak jarang para Milenial dan Gen Z yang hidup dengan biaya hidup mahal dan extravagant yang tidak sesuai dengan keadaan ekonomi mereka. Biaya hidup sehari-hari yang tinggi akan mengakibatkan seseorang untuk menghadapi kesulitan finansial, jika tidak disertai dengan pemasukan yang setara atau lebih.

Kegiatan ekonomi ini seharusnya dijalankan sesuai dengan kondisi keuangan individu masing-masing. Namun, tidak jarang saat ini, terutama di kalangan Milenial dan Generasi Z, ada kecenderungan memiliki gaya hidup yang tidak sejalan dengan kemampuan finansial mereka.

Terutama di kota-kota besar, sering kali Milenial dan Generasi Z menjalani gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka.

Pengelolaan keuangan yang awut-awutan membuat para anak muda kesulitan untuk menyisihkan pendapatan mereka secara rutin untuk membeli rumah. Mereka cenderung lebih memprioritaskan pengeluaran untuk hiburan duniawi, yang tentunya membutuhkan pengeluaran besar.

Biaya hidup yang tinggi ini dapat menyebabkan kesulitan finansial jika tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai atau lebih.

8. Resesi

Saat resesi, banyak orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini menyebabkan generasi milenial dan Gen Z kehilangan pekerjaan dan menghadapi kesulitan ekonomi. Akibatnya, penjualan bisnis properti menurun karena daya beli masyarakat menurun akibat kehilangan pekerjaan.

Situasi ini juga membuat mereka yang kehilangan pekerjaan sulit mengajukan KPR. Sementara, orang yang memiliki dana cenderung menunda pembelian properti untuk berjaga-jaga menghadapi resesi.

9. Inflasi

Inflasi sering menjadi penyebab utama kenaikan harga properti. Hal ini dilatar belakangi karena kenaikan harga bahan baku. Saat ini, banyak harga mengalami lonjakan akibat kenaikan harga bahan bakar energi yang signifikan, yang kemudian mempengaruhi harga komoditas di berbagai sektor, termasuk harga material bangunan.

10. Pertumbuhan Infrastruktur yang Masif

Pemerintah berkomitmen menyediakan sarana dan prasarana untuk memudahkan aktivitas sehari-hari masyarakat, mulai dari pembangunan fasilitas umum, jalan, hingga pengembangan kawasan wisata. Pertumbuhan infrastruktur ini turut menyebabkan kenaikan harga properti di sekitar area pembangunan tersebut.

11. Supply Tidak Naik

Tingginya permintaan rumah tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan. Akibatnya, harga properti menjadi naik. Meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai program untuk membantu masyarakat membeli rumah dengan lebih terjangkau, seperti rumah subsidi atau fasilitas kredit DP 0%.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 22 Jul 2024 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 23 Jul 2024  

Editor: Redaksi Daerah
Bagikan
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories