Nasional
Minimalisme di Tengah Krisis: Gaya Hidup atau Kepepet Finansial?
JAKARTA – Di tengah tingginya inflasi pangan dan meningkatnya biaya hidup di kota-kota besar, gaya hidup minimalis kian diminati oleh generasi muda urban. Bukan hanya sebagai tren estetika dengan rumah yang tertata rapi dan minim barang, tetapi juga sebagai bentuk adaptasi dan strategi untuk menghadapi tekanan ekonomi yang semakin terasa.
Dari memilih naik Transjakarta ketimbang mencicil motor, membawa bekal sendiri daripada memesan makanan online, hingga menghindari kopi-kopi mahal demi tabungan masa depan—semuanya menjadi pilihan sadar yang kini dianggap wajar.
Di media sosial seperti TikTok dan Instagram, istilah frugal living atau “hemat rasional” makin populer. Banyak konten kreator mempromosikan gaya hidup ini sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya konsumtif yang dianggap makin toksik.
Namun, pertanyaannya: apakah gaya hidup ini memang hasil pilihan sadar untuk hidup lebih sederhana dan tenang, atau justru bentuk keterpaksaan akibat naiknya harga kebutuhan pokok dan sulitnya akses terhadap hunian layak, khususnya di Jakarta?
- Baca Juga: 5 Kebiasaan Frugal Living Ala Bill Gates
Frugal Living: Bukan Pelit, Tapi Bertahan
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa sebagian besar anak muda urban memilih hidup minimalis bukan karena keinginan pribadi, melainkan karena terpaksa.
“Cost of living di Jakarta dan kota-kota satelitnya sangat tinggi. Upah minimum tidak sebanding dengan kebutuhan bulanan yang ideal. Jadi, frugal bukan soal pelit, tapi bertahan hidup,” ujarnya kepada TrenAsia.id, Rabu, 25 Juni 2025.
Bhima menjelaskan bahwa konsep minimalisme dan frugalisme memiliki sisi positif, seperti menyederhanakan kebutuhan, menghindari belanja impulsif, dan fokus pada hal-hal esensial. Namun, dalam konteks Indonesia, khususnya kota besar, gaya hidup ini juga mencerminkan tekanan struktural seperti ketimpangan pendapatan, tingginya beban cicilan, hingga sulitnya akses properti yang layak dan terjangkau.
Ketika Minimalis Jadi Gaya Hidup Realistis
Dianka (30), seorang karyawan swasta di Jakarta Selatan, adalah salah satu pelaku gaya hidup minimalis. Ia mengaku selalu memaksimalkan penggunaan barang yang dimilikinya hingga benar-benar rusak, alih-alih membeli barang baru yang fungsinya sama.
“Mengutamakan fungsi daripada gengsi itu nggak ada salahnya, asal masih dalam batas wajar. Ini bukan karena pelit sama diri sendiri, tapi karena harus mengalokasikan dana ke hal yang lebih penting,” tuturnya.
Meski mengaku memiliki cukup uang, Dianka memilih untuk mengalihkan pengeluaran ke pos-pos yang lebih berjangka panjang atau menunjang kesehatan. “Duitnya sih ada, tapi lebih milih beli hal yang bisa tahan lama, atau yang menunjang kesehatan. Nggak perlu ikut-ikutan FOMO,” ujarnya.
Menurutnya, hidup di Jakarta sangat menguras dompet. Karena itu, pengelolaan keuangan menjadi hal yang wajib. “Di tengah tekanan ekonomi urban, gaya hidup hemat dan minimalis bukan lagi stigma, tapi solusi,” kata Dianka.
“Ini bukan cuma soal tren, tapi strategi bertahan supaya tetap waras, punya tabungan, dan tetap bisa menikmati hidup, meskipun dalam versi yang lebih sederhana. Hidup minimalis bukan berarti pelit, tapi sadar bahwa kita nggak harus punya segalanya, cukup yang penting saja,” imbuhnya.
Investasi Ketimbang E-commerce
Cerita serupa datang dari Lala (24), karyawan swasta di Jakarta Timur. Ia membatasi diri hanya belanja pakaian maksimal empat kali setahun, dan mencatat semua pengeluarannya lewat aplikasi budgeting.
“Kalau nggak ditahan, bisa habis di e-commerce terus. Tapi bukan berarti pelit juga sih, aku tetap jajan kopi, asal udah dianggarkan,” kata Lala.
Saat ini, Lala lebih memilih menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan atau investasi. Baginya, itu adalah cara paling aman untuk bertahan di tengah biaya hidup yang kian tinggi.
“Justru hidup minimalis bikin aku lebih stabil dan nggak gampang kebawa FOMO. Pelit itu beda ya—itu kalau kita nggak mau berbagi atau menahan diri secara berlebihan. Frugal itu soal prioritas,” ujarnya menegaskan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Debrinata Rizky pada 25 Jun 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 30 Jun 2025