Nasib PNS di Masa Pemulihan Ekonomi: Kini Dianggap Duri

Presiden Joko Widodo bersama para Aparatur Sipil Negara (ASN).

Setahun sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia, pemerintah Indonesia mengeluarkan dua narasi berbeda terhadap peran Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam mendongkrak perekonomian.

Pada masa awal penyebaran COVID-19, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut pendapatan PNS yang tidak terdampak membuat mereka berpotensi mengungkit konsumsi rumah tangga.

Apalagi, pada tahun lalu, Sri Mulyani mengungkap Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 PNS bisa menyelamatkan ekonomi Indonesia tidak berkontraksi tidak terlalu dalam. Meski begitu, ekonomi Indonesia tetap mengalami kontraksi cukup dalam, yakni 5,32% year on year (yoy) pada kuartal II-2020.

Setahun berselang, narasi baru terhadap PNS muncul ke permukaan. Sri Mulyani dan Presiden Joko Widodo menyebut belanja pegawai untuk PNS justru menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Belanja daerah masih belum sinkron, sebab lebih banyak untuk belanja pegawai daripada menolong kepada masyarakat atau belanja-belanja yang memang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” kata Sri Mulyani dalam konferensi Pers APBN KITA, Selasa, 25 Mei 2021.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan dua narasi yang kontradiktif tersebut mengisyaratkan inkonsistensi pemerintah dalam strategi pemulihan ekonomi nasional.

Untuk diketahui, porsi belanja pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) mencapai 27% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara itu, porsi belanja pegawai di Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) mencapai 35%.

Beratnya pembayaran gaji PNS, kata Bhima, merupakan implikasi dari gencarnya penerimaan pegawai yang dilakukan pemerintah. Terlanjur menjadi beban, Bhima mengatakan pemerintah perlu berhati-hati bila ingin melepas sederet insentif bagi PNS.

“Secara umum jika ada 4,2 juta orang PNS dikali per orang menanggung 4 anggota keluarga artinya ada dampak langsung ke 16,8 juta penduduk,” kata Bhima saat dihubungi Trenaisa.com, Kamis, 27 Mei 2021.

Memaksimalkan Gaji Ke-13

Meski begitu, Bhima tidak menampik adanya gaji ke-13 bagi PNS menjadi stimulus tambahan saat dana Tunjangan Hari Raya (THR) masyarakat sudah ludes. Menurut Bhima, konsumsi PNS menggunakan gaji ke-13 masih bisa mengungkit konsumsi.

“Ini ibarat fresh money tambahan untuk gerakan konsumsi rumah tangga ketika THR sudah selesai. ujar Bhima.

Beban belanja pegawai secara gradual bisa dikurangi pemerintah Indonesia. Menurut Bhima, upaya itu bisa ditempuh dengan mengurangi kuota Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di semua Kementerian/Lembaga (K/L). Selain itu, adopsi teknologi menjadi upaya lain yang bisa mengurangi belanja pegawai sekaligus efisiensi layanan sipil.

“Banyak cara untuk pangkas belanja pegawai tanpa korbankan komponen gaji ke 13. Misalnya adopsi teknologi untuk gantikan tenaga manual dibidang administrasi yang berulang. Itu bisa pangkas kuota CPNS tiap ada pembukaan lowongan,” ungkap Bhima.

Korupsi Masih Tinggi, Saatnya Adopsi Teknologi

Adopsi teknologi, kata Bhima, merupakan sebuah keharusan untuk meredam angka korupsi di K/L hingga Pemda di Indonesia. Setali tiga uang, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan mayoritas PNS menyatakan kondisi korupsi di Indonesia semakin memburuk.

Survei ini digelar LSI kepada 915.504 PNS dari 34 K/L dan Pemda. Jumlah responden yang ikut dalam survei ini setara 22% dari total PNS di Indonesia.

Berdasarkan survei tersebut, 34,6% PNS mengungkapkan tingkat korupsi di Indonesia semakin meningkat. DI sisi lain, hanya ada 25,4% PNS yang menyatakan korupsi di Indonesia menurun sementara 33,9% responden lainnya mengungkap tidak ada perubahan.

“Teknologi digital gantikan kerja manual agar lebih efektif, real time, dan bisa mengurangi potensi korupsi,” ujar Bhima. (TrenAsia.com)


Related Stories