Parah Ini? Bisnis Geothermal Masih Jauh dari Nilai Keekonomian

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik anak subholding Pertamina NRE, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). (pge.pertamina.com)

 Bisnis geothermal masih jauh dari nilai keekonomian menyusul risiko besar dalam pengembangannya. Tantangan geografis dan serapan masyarakat menjadi kendala yang belum terpecahkan.

Pengamat BUMN Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) masih dibayangi berbagai persoalan.

Toto mengatakan letak PLTP yang jauh dari permukinan membuat perseroan sulit melistriki calon pelanggannya. Memang, lokasi sebuah PLTP tidak bisa berjauhan dengan wilayah kerja panas (WKP).

Kondisi ini berbeda dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), di mana lokasi pembangkit listrik jenis ini dapat berjauhan dengan sumber bahan bakarnya, yakni tambang batu bara.

Dengan gambaran di atas, Toto memperkirakan biaya pengembangan infrastruktur jaringan listrik dari PLTP akan menjadi lebih mahal dibandingkan dengan PLTU. Padahal semakin jauh bentangan transmisi listrik, maka tingkat susut jaringan juga semakin tinggi.

“Secara teknikal hingga saat ini belum ketemu solusi atas permasalahan tersebut,” ujarnya saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Belum lagi, tambahnya, distribusi listrik hasil panas bumi masih susah menjangkau masyarakat yang lebih jauh, terutama di Indonesia bagian Timur. Letak panas bumi biasanya ada di pegunungan tinggi yang merupakan kawasan konservasi.

“Dengan demikian, akan makin sulit dalam membuat jalur distribusinya. Penting untuk dipikirkan, hasil listrik dari PLTP untuk diserap karena menyangkut nilai keekonomian.”

Sebagai informasi, sekitar 80% dari cadangan geothermal Indonesia terletak di hutan lindung dan area konservasi. Tak ayal jika proses eksplorasi panas bumi kerap mendapat kecaman dari organisasi lingkungan.

Editor: Egi Caniago
Bagikan

Related Stories