Ekonomi
Pengamat: Industri Reasuransi Indonesia Belum Cemerlang di Tahun 2022
Defisit neraca pembayaran asuransi dan dana pensiun mencapai US$392 juta setara Rp6,14 triliun, membengkak 174% YoY dari posisi kuartal-III 2021 sebesar US$143 juta setara Rp2,24 triliun. Menurut pengamat, melonjaknya defisit tersebut lantaran kinerja industri reasuransi nasional yang belum cemerlang sepanjang tahun ini.
Data neraca pembayaran jasa asuransi dan dana pensiun Bank Indonesia sendiri menunjukan tren pembengkakan dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2018, akun ini mencatatkan defisit US$567 juta. Lalu pada 2019 meningkat menjadi US$709 juta. Di 2020 kembali meningkat menjadi US$1,08 miliar dan di 2021 menjadi US$1,2 miliar. Sementara di tiga kuartal 2022, defisitnya sudah mencapai US$930 juta.
Sebenarnya dari sisi ekspor pembayaran jasa asuransi dan dana pensiun, terus tumbuh, misalnya dari US$167 juta pada 2019 menjadi US$787 juta. Namun tidak bisa mengimbangi impor pembayaran jasa asuransi dan dana pensiun.
Pengamat asuransi UGM, Kepler Marpaung mengatakan defisit neraca pembayaran asuransi dan dana pensiun lazimnya disebabkan oleh besarnya premi reasuransi ke luar negeri. Biasanya selisih premi reasuransi ke luar negeri itu lebih besar daripada pembayaran klaim atau premi inward yang diterima asuransi di dalam negeri.
Menurutnya, perlu lebih banyak perusahaan reasuransi di dalam negeri yang mau dan mampu menahan risiko lebih besar. Mampu dalam artian, memiliki kapasitas permodalan yang mumpuni sejalan dengan pertumbuhan pertanggungan yang semakin meningkat.
Untuk dapat bersaing dengan perusahaan reasuransi luar negeri, perusahaan reasuransi lokal menurut Kepler perlu meningkatkan profesionalisme, proses seleksi risiko dan underwriting, SDM unggul, tata kelola perusahaan, infrastruktur, dan sistem teknologi informasi.
“Kemampuan melayani nasabah sangat penting. Perusahaan harus dapat meningkatkan proses klaim menjadi cepat dan sederhana,” kata dia kepada TrenAsia.com, Jumat, 18 November 2022.
Sementara Ekonom dan Dosen Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Adler Haymans Manurung mengatakan bisnis perusahaan reasuransi lokal akan mengikuti perkembangan bisnis sektor lain yang akan terjadi di tahun depan.
“Saya lihat bisnis reasuransi di tahun depan tidak akan melonjak tinggi, seperti sekarang saja sudah sangat bagus,” kata Adler kepada TrenAsia.com jejaring KabarMinang.id
- Inilah Tiga Fakta Menarik Rights Issue BBTN Menurut Staf Khusus BUMN
- Ada Apa dengan GoTo? 1.300 Orang Karyawan di PHK
- Tranformasi Digital jadi Bahasan G20, Jamkrindo Turut Dorong UMKM
Penuh Tantangan
Perusahaan reasuransi pelat merah, Indonesia Re turut mencatatkan kinerja tidak gemilang pada kuartal III-2022. Perusahaan mencatatkan risk based capital (RBC) negatif 38,88%, jauh di bawah RBC minimal perusahaan asuransi dan reasuransi di Indonesia sebesar120%.
Direktur Keuangan dan Aktuaria Indonesia Re, Maria Elvida Rita Dewi mengatakan sejak pandemi tahun 2020 lalu, perusahaan reasuransi cukup tertekan karena berpotensi menerima laporan klaim tertunda lebih lama dibanding perusahaan asuransi.
Dampak pandemi untuk Indonesia Re juga lebih besar dibandingkan dengan industri asuransi. Kondisi tersebut memaksa lonjakan klaim yang cukup besar di hampir semua lini bisnis reasuransi jiwa di Indonesia Re, seperti Produk AJK [Asuransi Jiwa Kredit] yang distribusinya paling merata di masyarakat, menjadi produk yang paling terdampak signifikan. Produk ini juga mencatatkan loss terbesar diantara produk Indonesia Re lainnya.
“Belum lagi dampak hiper inflasi pasca perang Rusia-Ukraina, serta perubahan iklim membuat kebijakan harga dan terms & conditions masih menjadi tantangan bagi perusahaan reasuransi dalam melakukan negosiasi dengan ceding atau perusahaan asuransi pemberi sesi,” kata Maria.