Penjelasan Mengenai Silent Majority yang Sering Dibicarakan Usai Pemilu

Pejabat mendistribusikan materi pemilih, termasuk kotak suara dan bilik suara yang belum dirakit, di pusat distribusi tingkat kabupaten di Jakarta (Trenasia)

JAKARTA - Pemungutan suara atau Pemilu telah selesai dilaksanakan, pada Rabu, 14 Februari 2024. Pasca pemungutan suara, istilah silent majority menjadi perbincangan hangat. Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran di wilayah Jawa Barat, Ridwan Kamil, memperkenalkan istilah tersebut setelah pasangan calon nomor 2 mendominasi dalam hitungan cepat (quick count) Pemilu 2024.

Melalui akun Instagram pribadinya @ridwankamil, Ridwan menyampaikan konsep silent majority. “Pelajaran. Silent Majority sudah berbicara. Siapa mereka? Mereka yang menyimak, tetapi jarang komen. Mereka yang jarang ribut-ribut di media sosial tiap akun ini posting #politik,” kata mantan Gubernur Jawa Barat itu, pada Kamis, 15 Februari 2024.

Apa Itu Silent Majority?

Diikutip dari Britannica, silent majority merujuk pada sebagian besar masyarakat yang memiliki preferensi politik tertentu, namun enggan menyatakan pendapat politik mereka secara terbuka di hadapan publik. Silent majority sulit diprediksi melalui jajak pendapat/survei elektabilitas menjelang pemilu karena sengaja tidak mengekspresikan pendapat politik mereka secara terbuka.

Dikutip dari Political Dictionary, silent majority awalnya digunakan untuk merujuk kepada semua orang yang telah meninggal dalam sejarah umat manusia. Istilah ini pertama kali disampaikan oleh Hakim Mahkamah Agung John Marshall Harlan pada tahun 1902.

Harlan menggunakan frasa tersebut dalam konteks yang berbunyi, “Para kapten hebat di kedua sisi Perang Saudara kita telah lama beralih ke mayoritas yang diam, meninggalkan kenangan akan keberanian mereka yang luar biasa.”

Secara politik, istilah ini pertama kali digunakan oleh Warren Harding dalam kampanye Pilpres tahun 1919. Namun, popularitas istilah ini meningkat pada tahun 1960-an ketika digunakan oleh Richard Nixon.

Nixon mempergunakan istilah ini sebagai strategi untuk memobilisasi para pemilih yang merasa tidak puas dan belum menentukan pilihannya dalam pemilu. Pada tahun 1969, Nixon memanfaatkan frasa ini untuk menarik perhatian sejumlah pemilih yang bersimpati padanya.

Menurut History, istilah tersebut kembali populer dalam kampanye politik Ronald Reagan dan Donald Trump. Donald Trump khususnya menggunakan istilah tersebut untuk menyapa basis pendukungnya selama kampanye presidensialnya pada tahun 2016.

Apa Hubungan Silent Majority dengan Pemilu?

Selama lebih dari 50 tahun sejak Nixon memperkenalkannya, istilah silent majority telah menjadi istilah yang lazim digunakan dalam ranah politik. Politikus menggunakan istilah ini sebagai alat untuk menarik perhatian pemilih yang merasa terpinggirkan atau tidak diakui.

Dalam konteks Pemilu, silent majority merujuk pada sebagian besar masyarakat yang secara tidak terang-terangan menyatakan dukungannya kepada salah satu pasangan calon. Mereka cenderung memilih untuk menyimpan pendapat mereka sendiri dan mungkin tidak menyatakan dukungan mereka secara terbuka.

Silent majority merupakan kumpulan individu yang beragam, dengan latar belakang, keyakinan, dan kepentingan yang berbeda-beda. Mereka bisa terdiri dari pemilih biasa yang menjalani kehidupan sehari-hari tanpa terlalu terpengaruh oleh berita politik atau perdebatan publik.

Kelompok silent majority memiliki potensi untuk secara signifikan memengaruhi hasil pemilihan umum. Mereka memiliki kekuatan untuk menjadi penentu dalam hasil suatu pemilihan. Kandidat yang berhasil mendapatkan dukungan dari silent majority memiliki peluang besar untuk memenangkan pemilihan karena mereka mewakili suara mayoritas yang biasanya tidak terlalu terdengar.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 18 Feb 2024 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 19 Feb 2024  

Editor: Redaksi Daerah
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories