Nasional
Perang di Timur Tengah, Ancaman Tak Langsung bagi Harga Konsumsi Harian
JAKARTA - Konflik antara Iran dan Israel yang berpotensi memicu penutupan Selat Hormuz bukan hanya menjadi perhatian utama di kawasan Timur Tengah, tetapi juga berpotensi berdampak hingga ke kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Meski tidak melalui serangan langsung, efeknya dapat dirasakan melalui gangguan pada rantai pasok energi global, ketersediaan bahan baku pupuk, dan tekanan terhadap inflasi pangan yang semakin sulit dikendalikan.
Menurut pengamat pertanian, Syaiful Bahari, dampaknya memang belum secara langsung dirasakan di Indonesia saat ini. Namun, ia memperingatkan bahwa efek tersebut kemungkinan besar akan terasa seiring berjalannya waktu.
Pasalnya, konflik ini berpotensi memicu gejolak besar terhadap harga minyak mentah dunia, yang secara otomatis akan berdampak pada biaya distribusi dan produksi pangan nasional.
“Dampaknya bukan ke produksi langsung, tapi ke sisi rantai pasok BBM dan bahan baku pupuk juga distribusi dari hulu ke hilir,” ujar Saiful kepada TrenAsia.id pada Senin 23 Juni 2025.
Saiful menjelaskan, Indonesia memang masih mampu memproduksi sendiri komoditas pangan utama seperti beras dan jagung. Tapi nyaris seluruh tahap distribusinya sangat bergantung pada BBM, contohnya dari traktor, penggilingan, hingga angkutan antarkota. Kenaikan harga minyak global akibat konflik di Selat Hormuz akan langsung dirasakan petani, pedagang, dan tentu saja konsumen akhir.
Krisis berikutnya datang dari ketergantungan pada impor bahan baku pupuk. Sebagian besar pupuk kimia di Indonesia seperti urea, NPK, hingga KCl mengandalkan bahan mentah dari Rusia, Belarus, Iran, dan Irak, wilayah yang saat ini ikut terdampak ketegangan geopolitik.
“Potassium, kalium, semuanya kita impor. Kalau pengiriman terganggu atau harga bahan bakar naik, otomatis biaya produksi pupuk nasional juga melonjak,” jelas Saiful.
Produksi pupuk BUMN seperti Pupuk Kujang atau Petrokimia Gresik juga masih berbasis bahan bakar gas (BBG). Jika harga energi global melonjak, beban subsidi pupuk pun berisiko membengkak atau malah dikurangi.
Selain komoditas domestik, Indonesia masih mengimpor berbagai pangan penting seperti gandum, kedelai, dan daging sapi beku. Ketika jalur logistik global terganggu, kelangkaan maupun keterlambatan barang bisa terjadi.
Selain pangan, impor bahan baku industri makanan juga bisa melambat, mendorong inflasi pangan olahan yang selama ini jadi konsumsi utama masyarakat urban.
Sekadar informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan Harga Rata-Rata Minyak Mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) bulan Mei 2025 pada level US$62,75 per barel.
Penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 208.K/MG.03/MEM.M/2025 tentang Harga Minyak Mentah Bulan Mei 2025 yang ditandatangani pada 10 Juni 2025.
Penurunan ICP Mei selaras dengan penurunan harga minyak mentah utama di pasar internasional, yang disebabkan oleh kesepakatan Organization of the Petroleum Exporting Countries + (OPEC +) untuk meningkatkan suplai sebesar 410.000 barel per hari.
Lebih lanjut, terdapat informasi potensi OPEC+ juga akan kembali meningkatkan produksi di bulan Juli 2025 hingga 411.000 barel per hari.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Debrinata Rizky pada 24 Jun 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 24 Jun 2025