Sejarah dan Kejatuhan Sritex, Ikon Tekstil Indonesia yang Berakhir Pailit

Menguak Sejarah Sritex, Raksasa Tekstil yang Kini Dinyatakan Pailit (Sritex)

JAKARTA – Pengadilan Niaga Kota Semarang baru-baru ini memutuskan adanya status pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau yang dikenal dengan Sritex. 

Pengadilan mengabulkan permohonan dari salah satu kreditur perusahaan tekstil tersebut yang meminta pembatalan perdamaian terkait penundaan kewajiban pembayaran utang yang telah disepakati sebelumnya.

Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang Haruno Patriadi mengonfirmasi, putusan yang mengakibatkan PT Sritex mengalami pailit pada Rabu, 23 Oktober 2024. Menurutnya, putusan dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Muhammad Anshar Majid itu mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur PT Sritex.

“Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada bulan Januari 2022,” katanya, dilansir dari Antara, Kamis 24 Oktober 2024.

Sebelumnya, pada Januari 2022, PT Sritex digugat oleh salah satu debiturnya, CV Prima Karya, yang mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Pengadilan Niaga Kota Semarang mengabulkan gugatan PKPU tersebut terhadap PT Sritex dan tiga perusahaan tekstil lainnya.

Seiring berjalannya waktu, PT Sritex kembali digugat oleh PT Indo Bharat Rayon karena dianggap tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang yang telah disepakati.

Sejarah Sritex

Sejarah Sritex tidak lepas dari sosok mendiang Haji Muhammad Lukminto, juga dikenal sebagai Ie Djie Shien. Sritex adalah perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Lukminto. Saat ini, kepemimpinan perusahaan yang berlokasi di Kabupaten Sukoharjo ini dipegang oleh dua saudara, Iwan Setiawan Lukminto dan Iwan Kurniawan Lukminto, yang merupakan generasi kedua dalam keluarga tersebut.

Grup Sritex telah berkembang menjadi perusahaan tekstil terpadu yang besar. Iwan Setiawan Lukminto yang pernah menjabat sebagai Presiden Direktur Sritex, telah beberapa kali masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia. Forbes mencatat kekayaannya sebesar US$515 juta atau sekitar Rp8,05 triliun.

Saat ini, Iwan Lukminto menjabat sebagai komisaris utama perusahaan sejak tahun 2022. Sementara, posisi direktur utama telah dialihkan kepada adiknya, Iwan Kurniawan Lukminto.

Sritex sendiri telah terdaftar sebagai perusahaan publik sejak 17 Juni 2013 dengan kode emiten SRIL.

Saat ini, Sritex tercatat sebagai perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang terintegrasi dari hulu ke hilir, bahkan dianggap sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Sekitar 59% sahamnya atau saham pengendali dimiliki oleh PT Huddleston Indonesia, yang terafiliasi dengan keluarga Lukminto. Sementara, kepemilikan publik tercatat sebesar 40%.

Di bawah naungan PT Sri Rejeki Isman, Tbk, perusahaan ini menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara yang memproduksi berbagai seragam militer, termasuk seragam militer NATO. Sritex memiliki pabrik yang berlokasi di Jalan KH. Samanhudi No. 88, Jetis, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Berawal di Pasar Klewer, Solo

Dilansir dari Komite Kebijakan Industri Pertahanan, perusahaan tekstil ini memulai usahanya dari kios kecil bernama UD Sri Rejeki di Pasar Klewer, Solo, yang didirikan oleh almarhum H. Muhammad Lukminto pada tahun 1966.

Awal perjalanan bisnisnya, H.M Lukminto memulai karirnya sebagai pedagang kain di Pasar Klewer dengan mengambil kain dari produsen di Bandung, Jawa Barat. Berkat usahanya cukup pesat perkembangannya, pada tahun 1968, H.M Lukminto mendirikan pabrik cetak kain skala kecil di Baturono, Solo, dengan bantuan empat orang pegawai.

Seiring berjalannya waktu, bisnis H.M Lukminto mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ia kemudian memindahkan usaha dari Solo ke Sukoharjo dengan mendirikan pabrik baru yang lebih besar. Pada tahun 1972, pabrik tersebut dinamakan Sri Rejeki Isman dan mulai terdaftar sebagai Perseroan Terbatas (PT) di Kementerian Perdagangan pada tahun 1978.

Kedekatan H.M Lukminto dengan penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto, dianggap sebagai faktor yang mendorong perkembangan pesat bisnis Sritex, karena perusahaan ini banyak menerima pesanan dari pemerintah untuk pembuatan seragam ASN, TNI, dan Polri.

Usaha Sritex terus maju dan berkembang dengan pesat, terbukti dari pendirian pabrik tenun pertama pada tahun 1982, diikuti oleh perluasan pabrik pada tahun 1992 yang diresmikan Soeharto, bersamaan dengan acara perluasan 275 usaha kelompok aneka industri yang dipusatkan di lokasi Sritex, Sukoharjo.

Perluasan ini mencakup penambahan empat lini produksi, yaitu pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana. Dengan pengelompokan di bawah satu atap, diharapkan mempercepat proses produksi.

Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1994, Sritex mendapat kepercayaan untuk memproduksi seragam militer di Indonesia. Selain memenuhi kebutuhan dalam negeri, Sritex juga memproduksi seragam militer untuk 35 negara di dunia, termasuk North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan Tentara Jerman.

Nama Sritex semakin terkenal ketika perusahaan ini menandatangani kontrak pembuatan seragam NATO untuk Angkatan Perang Jerman pada tahun 1997. Hingga tahun 1998, jumlah pesanan seragam tersebut mencapai sekitar satu juta peach stell (PS).

Selain itu, PT Sritex juga menjalin kontrak dengan Angkatan Perang Inggris untuk memproduksi seragam NATO sebanyak 400.000 PS. Papua Nugini memesan seragam polisi sebanyak 50.000 PS dari Sritex, dan seragam untuk Kantor Pos Jerman juga dipesan sebanyak satu juta PS.

Tahun 1998 merupakan tahun yang sulit bagi semua perusahaan, di mana banyak yang terpuruk akibat situasi politik dan krisis moneter. Di saat perusahaan lain berjatuhan, Sritex berhasil bertahan, bahkan mengalami pertumbuhan yang signifikan, mencapai delapan kali lipat dari hasil produksi tahun 1992.

Tahun 2018, PT Sritex mengakuisisi PT Primayudha Mandirijaya dan PT Bitratex Industries untuk meningkatkan kapasitas pemintalannya. PT Sritex juga membantu perekonomian daerah tempat perusahaannya berada. PT Sritex menjadi salah satu penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat Sukoharjo dan sekitarnya.

Awal pandemi 2020, PT Sritex berhasil mendistribusikan 45 juta masker dalam waktu hanya tiga minggu. Ini adalah bagian dari upayanya untuk membantu pemerintah dalam menekan penyebaran virus Covid-19. Seolah tidak terpengaruh oleh pandemi, pada tahun yang sama Sritex juga melakukan ekspor produknya ke Filipina untuk pertama kalinya.

Pabrik Sritex di Sukoharjo berdiri di atas lahan seluas 79 hektar dan mempekerjakan sekitar 50 ribu orang. Secara keseluruhan, Sritex memiliki 27 pabrik benang (spinning), 5 pabrik pencelupan dan finishing (dyeing-printing-finishing), 5 pabrik tenun (greige), serta 11 pabrik garmen (fashion).

Selain mempekerjakan warga sekitar Sukoharjo dan masyarakat Indonesia, Sritex juga merekrut sejumlah tenaga profesional dari luar negeri, termasuk dari Korea Selatan, Filipina, India, Jerman, dan Tiongkok. Beberapa klien besar Sritex antara lain H&M, Walmart, KMart, dan Jones Apparel.

Dalam laporan keuangan kuartal I-2024, perusahaan mencatat kerugian sebesar US$14,79 juta, meningkat 32,90% secara tahunan (year on year/yoy) dari sebelumnya sebesar US$9,25 juta.

Dalam laporan yang sama, Sritex secara grup mencatatkan jumlah karyawan tetap hingga akhir Maret 2024 sebanyak 11.249 orang, mengalami penurunan sekitar 20% dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 14.138 karyawan.

Sritex juga melaporkan defisit dan defisiensi modal hingga 31 Maret 2024 dan 31 Desember 2023 masing-masing sebesar US$1,17 miliar dan US$1,16 miliar.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 24 Oct 2024 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 01 Nov 2024  

Editor: Redaksi Daerah
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories