Nasional
Selalu Taat Aturan Pemerintah, Pengusaha Iklan Tolak Aturan Larangan Total Iklan Rokok
JAKARTA – Dinilai mengancam keberlangsungan industri periklanan, para pengusaha di industri tersebut dengan tegas menolak rencana larangan total iklan rokok yang tertuang dalam revisi PP 109/2012. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA) Eka Sugiarto dalam kegiatan FGD terkait larangan iklan rokok di Jakarta baru-baru ini.
“Rencana revisi PP 109/2012 yang di dalamnya ada larangan total iklan rokok akan berdampak signifikan bagi industri kreatif. Menurut kami isu ini bisa dibicarakan baik-baik. Dengan aturan yang berlaku saat ini, para pengusaha sudah melakukan mekanisme kontrol dan kepatuhan sesuai aturan dan etika yang berlaku,” terang Eka.
Eka menambahkan terdapat sekitar 750 ribu tenaga kerja yang berkaitan dengan sektor industri ekonmi kreatif dan mengandalkan pendapatan dari iklan rokok. Industri rokok merupakan salah satu sektor yang berkontribusi signifikan terhadap advertising expenditure (ADEX) atau total belanja iklan. Oleh karena itu, ia meminta agar pemerintah mempertimbangkan keberlangsungan industri ini.
“Rencana revisi ini harus dibicarakan dulu dengan seluruh pihak terkait karena ada business continuity yang harus diperhatikan dan dijaga keseimbangannya. Kalau dari riset, revisi ini tidak menghasilkan dampak dan efek domino yang kondusif,” terang Eka.
Menurut Eka, aturan PP 109/2012 yang berlaku saat ini telah tegas mengatur perihal iklan rokok. Sehingga, aspek yang justru harus diperkuat adalah implementasi. Selain itu, pengusaha yang tergabung dalam APPINA juga telah menaati seluruh aturan yang berlaku. Kepatuhan ini turut menujukkan hasil yang positif melalui turunnya angka prevalensi perokok anak di bawah umur 18 tahun sesuai data yang dipublikasikan oleh Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam beberapa tahun ini.
Senada denga Eka, Ketua Umum Persatuan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto, menyampaikan larangan total iklan rokok akan menimbulkan efek ganda yang besar bagi industri ekonomi kreatif, salah satunya persoalan tenaga kerja.
“Kita harus diskusikan lebih lanjut dampak dari revisi ini. Bagaimana nasib para pekerja di industri ini? Masalah regulasi, selama ini sebenarnya iklan rokok adalah iklan yang paling banyak aturannya dan kita selalu tertib. Tayangnya hanya boleh dari jam 21.30 dan banyak sekali aturan lainnya, seperti tidak boleh mencantumkan logo dan lain-lain. Kita sudah hafal akan regulasi-regulasi itu. Yang harus dipahami, ada hajat hidup orang banyak dan kepentingan yang harus kita suarakan bersama,” Kata Janoe.
Janoe melanjutkan seiring berkembangnya teknologi, proses iklan, khususnya di media digital, telah memungkinkan adanya penargetan secara spesifik terhadap usia, gender, lokasi, dan lainnya. Melalui fitur ini, para pengusaha dapat melakukan iklan yang bertanggung jawab.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Agung Suprio, menjelaskan salah tujuan penyiaran adalah menumbuhkan industri penyiaran, sehingga dalam hal ini pertumbuhan industri penyiaran harus dijaga. Berkaitan dengan iklan rokok, Agung menjelaskan bahwa iklan rokok telah diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Ia mencatat media penyiaran, baik televisi maupun radio, telah menaati aturan iklan rokok yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012. Aturan ini dinilai sangat mumpuni untuk meregulasi iklan rokok.
“P3SPS dibentuk agar tayangan TV selalu ramah anak. Iklan rokok dibuat tayang mulai dari jam 21.30 – 4.30 dengan asumsi bahwa tidak ada anak-anak yang menonton. Media TV juga telah mematuhi P3SPS terkait dengan iklan rokok. Kami mengadopsi PP 109/2012, maka sejatinya iklan-iklan rokok ini sudah patuh,” pungkas Agung.