UMKM Bakal Jadi Korban, Bila Kemenkeu Kaji Penurunan Batas Pengusaha Kena Pajak

Bank Dunia telah mendorong Indonesia untuk menurunkan threshold atau ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP). Opsi yang ditawarkan Bank Dunia itu akhirnya dirilik oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Dalam laporan bertajuk Global Economics Prospect – June 2021 Edition, Bank Dunia mengusulkan ambang batas PKP Indonesia berada di angka Rp600 juta per tahun.

Sehingga nilai ini jauh lebih rendah ketimbang PKP yang berlaku saat ini, yakni Rp4,8 miliar per tahun.

Kemenkeu sebenarnya pernah menerapkan ambang batas PKP Rp600 juta dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2010. Ketentuan itu kemudian diubah dalam PMK Nomor 192 Tahun 2013.

Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengungkapkan penurunan ambang batas PKP masih dalam tahap pengkajian. Suryo mengakui, penerapan PKP yang lebih rendah membuka kesempatan pajak berkelanjutan.

“Posisinya masih dalam pengkajian, tentu kami lihat ini bisa mendukung pajak berkelanjutan,” kata Suryo Rabu, 23 Juni 2021.

Meski begitu, bukan pertama kalinya DJP Kemenkeu melontarkan perubahan ambang batas PKP. Pada 2018, DJP Kemenkeu juga mengatakan kebijakan tersebut tengah dipertimbangkan penerapannya.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Randy menilai perubahan ambang batas PKP berpotensi meningkatkan basis pajak.

Pasalnya, semakin banyak perusahaan yang terkena pajak penghasilan (PPh) pasal 25 dan pajak pertambahan nilai (PPN) korporasi.

“Saya kira ini bagian dari upaya pemerintah dalam melakukan ekstensifikasi pajak untuk menggaet potensi penerimaan pajak yang lebih luas dibandingkan sebelumnya,” kata Yusuf kepada TrenAsia.com, Rabu, 23 Juni 2021.

UMKM Kena Pajak Tinggi?

Yusuf juga mengatakan rencana kebijakan ini bisa membawa bencana bagi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Jika batas itu diturunkan, UMKM berpeluang tidak lagi membayar PPh final 0,5%.

Pelaku usaha itu, kata Yusuf, berpeluang harus ikut membayar PPN yang tarifnya direncanakan naik pada tahun depan. Dengan demikian, hal itu bisa berdampak terhadap cash flow pelaku UMKM yang terkuras untuk membayar pajak.

“Jadi perlu dipetakan skema penarikan pajaknya nanti, bagi UKM mungkin lebih cocok di PPh Final, sementara usaha yang lebih besar dengan skema PPN,” ujar Yusuf.

Potensi itu bersumber dari variabel penentuan ambang batas yang hanya diambil dari omzet. Menurut Yusuf, bila tidak dipetakan secara menyeluruh, rencana penurunan ambang batas PKP ini bisa menjadi bumerang bagi Kemenkeu.

Rencana ini juga tidak sejalan dengan asa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk membawa UMKM “naik kelas”.  Jokowi sedang menggenjot kontribusi ekspor UMKM Indonesia melesat menjadi 21,6% pada 2024.

Tentu saja, kata Yusuf, asa itu perlu mendapat fondasi yang kuat berupa konsolidasi keuangan yang kokoh. Maka dari itu, Yusuf mendorong pemerintah untuk memetakan kembali efek penurunan PKP itu.

“Karena jika diturunkan tentu ada potensi beberapa skala UKM khususnya terdampak karena masuk dalam kategori omset yang akan dikenai PKP nantinya,” ucap Yusuf.

Terdapat 2,3 juta pelaku UMKM yang terancam diberikan beban ganda pajak oleh pemerintah. Angka itu diambil dari jumlah Wajib Pajak (WP) PPh final UMKM pada 2019.

Yusuf menilai kebijakan ini tidak lepas dari upaya Kemenkeu mengerek penerimaan perpajakan. “Justru karena pemerintah ingin melakukan konsolidasi fiskal di tahun depan,” tegas Yusuf.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menargetkan penerimaan pajak pada tahun ini mencapai Rp1.743,6 triliun. Target itu tumbuh 6,7% jika dibandingkan realisasi pajak 2020 yang sebesar Rp1.070 triliun.

Bendahara Negara juga telah mengatur target penerimaan pajak pada tahun depan yang nilainya mencapai Rp1.499,3 triliun hingga Rp1.528,7 triliun. (TrenAsia.com)

Bagikan

Related Stories