Hari Kesehatan Mental Sedunia: Saatnya Pahami Keseimbangan antara Tubuh dan Pikiran

Jumat, 10 Oktober 2025 22:01 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

Refleksi Hari Kesehatan Mental Sedunia: Kesehatan Mental dan Fisik Bisa Saling Memengaruhi
Refleksi Hari Kesehatan Mental Sedunia: Kesehatan Mental dan Fisik Bisa Saling Memengaruhi (Freepik.com)

JAKARTA - Kesehatan mental dan fisik sejatinya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Berbagai studi medis membuktikan bahwa gangguan psikologis seperti stres, depresi, dan kecemasan dapat memicu maupun memperburuk sejumlah penyakit fisik serius, termasuk penyakit jantung, diabetes, hingga gangguan pada sistem kekebalan tubuh.

Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia yang jatuh setiap 10 Oktober menjadi pengingat penting bahwa kesehatan mental merupakan dasar dari kesehatan tubuh secara menyeluruh.

Menurut laporan World Health Organization (WHO), Jumat, 10 Oktober 2025, stres psikologis kronis dapat memicu pelepasan hormon kortisol dan adrenalin secara terus-menerus sebagai bagian dari respons “fight or flight”. Jika kondisi ini berlangsung lama, sistem kekebalan tubuh bisa terganggu dan menimbulkan peradangan kronis tingkat rendah, yang kerap menjadi pemicu berbagai penyakit modern.

Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan di Journal of the American College of Cardiology menemukan bahwa individu dengan depresi memiliki risiko 30–40% lebih tinggi mengalami penyakit kardiovaskular dibandingkan populasi umum.

Penelitian serupa dari American Heart Association (AHA) juga menyebutkan bahwa penderita depresi berisiko 2–3 kali lipat lebih besar meninggal akibat penyakit jantung dibanding mereka yang tidak mengalami gangguan mental.

Selain itu, studi dari Carnegie Mellon University mengungkapkan bahwa stres kronis dapat menurunkan efektivitas sel imun T, membuat tubuh lebih rentan terhadap virus dan infeksi, seperti flu dan radang saluran napas.

Hubungan erat antara otak dan usus (gut-brain axis) juga menjelaskan mengapa stres atau kecemasan memperburuk gangguan pencernaan. Data American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa hingga 90% penderita Irritable Bowel Syndrome (IBS) mengalami gangguan kecemasan atau depresi.

Baca juga : Mengenal Sanae Takaichi, Eks Drummer Metal Calon Perdana Menteri Jepang

Kesehatan mental yang terganggu sering kali mendorong seseorang menjalani perilaku yang memperburuk kondisi fisiknya. Insomnia, misalnya, merupakan gejala umum depresi dan kecemasan. Menurut National Sleep Foundation, penderita insomnia memiliki risiko lebih tinggi mengalami obesitas, diabetes, dan hipertensi akibat gangguan metabolisme dan hormon.

Selain itu, depresi kerap memengaruhi pola makan. Banyak orang yang mengalami emotional eating, mengonsumsi makanan tinggi gula dan lemak untuk mencari kenyamanan emosional. Akibatnya, risiko obesitas dan penyakit metabolik meningkat.

Gangguan motivasi atau anhedonia pada depresi juga membuat penderitanya kurang beraktivitas fisik, yang berimbas pada penurunan kesehatan kardiovaskular dan daya tahan tubuh.

Tak jarang, sebagian penderita menggunakan rokok, alkohol, atau obat-obatan terlarang sebagai cara mengatasi tekanan mental. Padahal, data World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa konsumsi alkohol berlebihan dan merokok merupakan faktor risiko utama untuk kanker, penyakit hati, dan paru-paru kronis.

Dampaknya terhadap Tubuh

Beberapa gangguan mental memiliki hubungan yang jelas dengan peningkatan risiko penyakit fisik. Menurut American Heart Association, depresi meningkatkan risiko kematian pada penderita penyakit jantung sebanyak dua hingga tiga kali lipat, serta memperparah komplikasi pada pasien diabetes dan nyeri kronis seperti migrain. 

Sementara itu, studi dalam jurnal Psychological Medicine menemukan bahwa penderita gangguan panik memiliki risiko 47% lebih tinggi mengembangkan penyakit jantung koroner. Kecemasan juga diketahui dapat memperparah kondisi asma, eksim, dan psoriasis. 

Selain itu, riset yang dimuat di Biological Psychiatry menunjukkan bahwa penderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD) memiliki tingkat penyakit autoimun yang lebih tinggi, termasuk lupus dan rheumatoid arthritis, akibat gangguan regulasi sistem imun jangka panjang.

Secara global, data ilmiah turut menguatkan keterkaitan antara kesehatan mental dan fisik. Depresi, misalnya, memiliki efek risiko terhadap kesehatan jantung yang setara dengan kebiasaan merokok atau obesitas, sebagaimana dijelaskan oleh American Heart Association. 

Stres kronis juga terbukti dapat menurunkan efektivitas vaksin dan memperlambat proses penyembuhan luka hingga 40%. Lebih jauh lagi, gangguan mental berat seperti depresi mayor dan skizofrenia dikaitkan dengan penurunan usia harapan hidup sekitar 10–20 tahun akibat komplikasi fisik yang menyertainya.

Baca juga : 7 Saham Dibuka Gemboknya, 4 Langsung ARA

Rangkaian temuan tersebut menegaskan bahwa mengabaikan kesehatan mental sama bahayanya dengan mengabaikan penyakit fisik. Keduanya saling berinteraksi dan membentuk kondisi tubuh secara keseluruhan. 

Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia menjadi momentum penting untuk mendobrak stigma terhadap gangguan mental, menganggap serius keluhan psikologis sebagaimana keluhan fisik, serta mendorong pendekatan medis yang holistik di mana kesehatan mental dan fisik ditangani secara bersamaan. 

Seperti disampaikan oleh American Heart Association, menjaga kesehatan mental bukan hanya tentang kesejahteraan emosional, tetapi juga merupakan langkah pencegahan terhadap penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya. Merawat pikiran sama pentingnya dengan merawat tubuh. Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 10 Oct 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 10 Okt 2025