Kolaborasi
Senin, 07 Februari 2022 06:46 WIB
Penulis:Sutan Kampai
Editor:Sutan Kampai
Kebutuhan masyarakat terutama rumah tangga dan bisnis akan gas terus meningkat di tengah perekonomian yang terus tumbuh. Sayangnya, penyaluran gas masih terganjal kesiapan infrastruktur pipa gas.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan kendala tersebut menyebabkan distribusi gas belum merata di seluruh wilayah Indonesia oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN sebagai "kaki tangan" pemerintah di bidang gas bumi.
"Kegiatan distribusi gas bumi memiliki keterbatasan infrastruktur pada pipa gas, sehingga pemanfaatannya belum secara maksmial dapat dinikmati di dalam negeri," katanya saat memimpin pertemuan Komisi VII DPR RI dengan direksi PGN di Medan, Sumatera Utara, Sabtu, 5 Februari 2022.
Berdasarkan data yang diolah oleh Ditjen Migas tahun 2017, panjang infrastruktur pipa nasional mencapai 16.455,90 kilometer (Km) yang terdiri dari pipa open access sepanjang 4.551,09 Km, pipa dedicated hilir sepanjang 6.871,65 Km, pipa untuk kepentingan sendiri sepanjang 71,57 Km dan pipa dedicated hulu sepanjang 4.961,60 Km.
Sedangkan infrastruktur non-pipa yang telah terbangun dan beroperasi yaitu kilang LNG sejumlah 3 unit (Kilang Bontang, Kilang DS LNG, dan Kilang Tangguh), FSRU sejumlah 3 unit (FSRU Nusantara Regas, FSRU Lampung, dan FSRU Benoa), dan Landbased Regasification sejumlah 1 unit (Regasifikasi Arun). Fasilitas CNG berupa CNG Plant sejumlah 40 unit dan Fasilitas LPG berupa Kilang LPG sejumlah 28 unit.
Eddy berharap pemerintah melakukan kerja sama dengan perusahaan seperti perusahaan milik negara maupun pihak swasta untuk memaksimalkan kebutuhan konsumen.
Dalam hal ini, PGN membeli gas bumi dari beberapa produsen yang telah melakukan kerja sama, lalu dilakukan penyaluran ke pengguna gas bumi, yaitu masyarakat.
Di sisi lain, lanjut Eddy, PGN memasarkan energi gas bumi ke berbagai ukuran pasar dan komunitas. Tantangan PGN adalah menyediakan infrastruktur untuk menyediakan gas, dengan mengantisipasi pasar yang terus bertumbuh.
"Pengalaman PGN selama beberapa dekade terakhir memberikan pembelajaran bahwa pengembangan jaringan perlu direncanakan secara tepat, sehingga dapat mencapai tahapan yang optimal," katanya.
Adapun, tahun ini PGN menargetkan peningkatan konsumsi gas pipa sektor rumah tangga melalui penambahan 1 juta sambungan jaringan gas (jargas).
Perluasan layanan jargas pada 1 juta rumah tangga ini dalam rangka untuk mengisi masa transisi menuju energi bersih atau energi baru terbarukan (EBT).
Anggota Komisi VII DPR RI Ridwan Hisjam menegaskan, jargas berupa pembangunan infrastruktur pipa gas bumi untuk menyalurkan kebutuhan energi gas bagi rumah tangga harus segera terealisasi.
Jargas ini diharapkan segera menggantikan gas tabung Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang masih digunakan luas oleh masyarakat.
"Jargas kota itu memang sudah jadi program pemerintah. Komisi VII sangat mendukung program ini, karena sangat membantu masyarakat perkotaan dalam mengakses kebutuhan energi di rumah. Ini sebagai alternatif energi LPG," kata Hisjam.
Menurut dia, penggunaan gas LPG untuk rumah tangga dan industri memang harus segera dikurangi, karena kebutuhan subsidinya sangat besar hampir sekitar Rp60 sampai dengan 80 triliun per tahun.
Subsini gas ini akan sangat membebani APBN di tengah tekanan pandemi. Jargas yang mendistribusikan gas alam ini, kata dia, sangat ramah lingkungan, hanya jaringan pipa yang belum terbangun luas.
Contohnya, di Jawa sudah terbangun jargas dari Gresik ke Semarang. Namun, dari Gersik ke Cirebon sudah bertahun-tahun belum dibangun.
Namun sekarang sudah diambil alih Kementerian ESDM melalui penganggaran APBN. Diharapkan pembangunan jargasnya tidak tertunda kembali.
Sementara untuk Sumatera, ada jargas yang terputus dari Arun (Aceh) sampai ke Palembang (Sumsel). Jaraknya mencapai 400 Km dengan nilai investasi sekitar Rp1 triliun.
"Komisi VII meminta kepada Kementerian ESDM proyek ini harus sudah dikerjakan. Jangan sampai terputus. Mungkin belum ekonomis dari sisi harga. Tapi, pemerintah tidak perlu melihat ekonomis," ungkap Hisjam.
Beberapa waktu lalu, Komisaris Utama PGN Arcandra Tahar mengatakan bahwa pada dasarnya tidak mudah membangun jaringan pipa gas di Indonesia.
Hal itu karena banyak sumber gas ditemukan di laut dan laut dalam, sehingga biaya pembangunan infrastruktur gas sangat besar.
Belum lagi banyak sumber gas dan industri gas berada di lokasi yang berjauhan. Misalnya sumber gas ditemukan di Papua, tetapi industrinya dibangun di Karawang.
Hal itu tentu mempengaruhi proses distribusi gas ke masyarakat. Karena itu, mau tidak mau, pemerintah harus mendistribusikan gas dalam bentuk Liquid Natural Gas (LNG) sehingga bisa menekan biaya.
Menurut Arcandra, pembangunan infrastruktur gas di Indonesia membutuhkan inovasi dan teknologi tinggi sehingga distribusi gas merata dan cepat.
"Intinya di technology development dan inovasi," katanya dalam acara Energy and Economic Outlook 2022, dilihat di Youtube PGN, Minggu, 6 Februari 2022. (TrenAsia.com)