BTN Proyeksikan Penyaluran KPR pada Tahun 2023 Tumbuh Kisaran 7 - 9 Persen

Chief Economist Bank PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Winang Budoyo memprediksi penyaluran KPR tumbuh sekitar 7%-9% pada 2023, atau naik dibandingkan dengan kinerja tahun ini. (Foto : Panji Asmoro/TrenAsia)

Penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) diprediksi tumbuh positif pada tahun depan. Hal ini sejalan dengan permintaan hunian yang tetap tinggi meskipun di tengah ketidakpastian ekonomi. 

Chief Economist Bank PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Winang Budoyo memprediksi penyaluran KPR tumbuh sekitar 7%-9% pada 2023, atau naik dibandingkan dengan kinerja tahun ini.

“Tahun ini kuartal III saja KPR naik 7,7 persen. Artinya kita prediksi tahun depan bisa naik 7%-9%, tapi masih di bawah double digit,” saat ditemui TrenAsia.com (mitra KabarMinang.id), di Jakarta, Senin, 19 Desember 2022.

Winang memaparkan penyaluran KPR tahun depan akan didorong oleh permintaan hunian khususnya di kelas menengah dan menengah ke bawah dengan pembeli rumah pertama atau first time home buyer.

“Kalau kita lihat rata-rata harganya di kisaran kurang dari hingga Rp500 juta (per unit). Bukan di harga Rp1 miliaran, karena itu segmen investor yang tergantung pada kondisi perekonomian nasional,” kata Winang 

Winang mengungkapkan sektor perumahan merupakan salah satu sektor yang terbukti mampu bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi global. Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan KPR yang tetap positif di tengah turunnya ekonomi nasional . Bahkan, KPR mampu tumbuh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan total kredit selama pandemi.

Sampai dengan akhir September 2022, secara nasional total penyaluran KPR di perbankan tercatat sebesar Rp600,5 triliun atau tumbuh 7,7% secara tahunan. Angka ini juga meningkat dibandingkan dengan kuartal II-2022 yang sebesar 6,81%. Penyaluran KPR berkontribusi hingga 51% dari total kredit properti di bank yang mencapai Rp1.180 triliun.

Sementara, berdasarkan survei dari Bank Indonesia pada kuartal III-2022, sebanyak 74,53% responden menyatakan masih bergantung pada KPR untuk bisa memiliki rumah. 

Prospek Bisnis Properti

Winang mengungkapkan ada beberapa faktor pendorong bisnis properti khususnya sektor perumahan tetap tumbuh cemerlang pada 2023. 

Pertama, daya tahan ekonomi dalam negeri. Pembangunan perumahan yang menggunakan 90% bahan baku lokal, dapat mendorong tumbuhnya berbagai sektor dalam negeri. Sehingga dapat menjaga momentum capital inflow dan membantu mengendalikan inflasi di berbagai daerah di Indonesia

Kedua, penambahan anggaran pemerintah untuk KPR Subsidi. Pada 2023, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan menambah jumlah anggaran program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi Rp 23 triliun. Angka ini naik dari tahun 2022 saat alokasi anggaran yang diberikan hanya sebesar Rp 19 triliun.

Ketiga, stimulus atau bantuan pemerintah kepada masyarakat melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Sosial (Bansos) seperti subsidi BBM, upah, iuran Kesehatan, bebas PPN, dan lainnya. Dengan adanya stimulus tersebut diharapkan daya beli masyarakat tetap terjaga.

Meski demikian, besarnya permintaan perumahan tersebut ternyata tidak diiringi kemampuan penyediaan. Tantangan di sektor perumahan antara lain terbatasnya kemampuan developer dalam membangun rumah, terbatasnya anggaran pemerintah, sulitnya penyediaan lahan, dan terbatasnya kemampuan perbankan dalam membiayai developer.

“Kapasitas penyediaan terbatas hanya sekitar 400 ribu unit per tahun sedangkan kebutuhan per tahun mencapai 800 ribu unit rumah,” kata dia. 

Selain itu, harga lahan semakin tinggi karena belum diatur oleh institusi seperti Bank Tanah. Dengan demikian, harga rumah meningkat pesat terutama rumah non subsidi karena terdorong oleh tingginya harga lahan dan harga bahan bangunan. 

“Jumlah pengembang masih terbatas dan banyak pengembang yang mengalami keterbatasan modal,” ujar dia.

Kemudian, lanjut Winang, adanya potensi penurunan daya beli. Ancaman resesi global dan kenaikan inflasi berpotensi menurunkan daya beli masyarakat khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). 

Selanjutnya, maturity mismatch, dalam hal ini perbankan harus menggunakan dana jangka pendek untuk membiayai pinjaman jangka panjang untuk KPR.

Editor: Egi Caniago
Bagikan

Related Stories