Fakta Unik: Vietnam Termasuk Negara dengan Obesitas Paling Rendah, Ini Alasannya

Ternyata Ini Alasan Vietnam Jadi Negara dengan Tingkat Obesitas Terendah di Dunia (nationthailand)

JAKARTA – Di luar pemandangan sawah berundak, kopi robusta, dan hiruk pikuk motor di jalanan, Vietnam dikenal karena satu hal unik: tingkat obesitas orang dewasa yang sangat rendah.

Menurut Global Obesity Observatory, hanya sekitar 1,97% penduduk dewasa Vietnam yang mengalami obesitas (IMT ≥30). Angka ini menempatkan Vietnam di posisi ke-197 dari 200 negara, atau tiga terbawah di dunia. Data tersebut sejalan dengan Global Nutrition Report, yang mencatat hanya 3,3% perempuan dewasa dan 2,2% laki-laki dewasa di Vietnam hidup dengan obesitas—jauh lebih rendah dibanding rata-rata Asia Tenggara.

Analisis jangka panjang oleh NCD Risk Factor Collaboration (1990–2022) juga menegaskan hal ini: saat prevalensi obesitas meningkat di hampir semua negara, Vietnam tetap konsisten berada di kelompok dengan angka terendah. Artinya, status “negara paling kurus” ini bukan kebetulan statistik, melainkan terbukti dari berbagai studi global.

Namun penting diingat, batas obesitas berbasis IMT 30 kg/m² cenderung “terlalu tinggi” untuk populasi Asia. Konsultasi pakar WHO menyimpulkan bahwa banyak orang Asia mulai mengalami peningkatan risiko diabetes dan penyakit kardiovaskular pada IMT 23–27,5, bahkan sebelum menyentuh ambang 30. Artinya, angka obesitas Vietnam yang rendah tidak otomatis berarti bebas risiko metabolik. Kebijakan dan edukasi klinis di Asia termasuk Vietnam umumnya menyarankan kewaspadaan pada ambang IMT yang lebih rendah dibanding populasi Eropa. 

Seperti Apa Pola Makan Tradisional Vietnam?

Pola makan tradisional Vietnam kerap digambarkan “ringan tapi lengkap”: berbasis nasi dan beragam sayuran, porsi lauk hewani kecil, banyak herba segar, serta metode memasak cepat seperti kukus dan tumis. Kajian pengembangan Vietnamese Healthy Eating Index menemukan pola tradisional cenderung rendah lemak, kaya sayuran, dan catatan penting tinggi garam akibat penggunaan kecap ikan/nuoc mam dan bumbu fermentasi. Elemen fermentasi sendiri dari saus ikan hingga acar membawa komunitas mikroba yang berpotensi menguntungkan kesehatan pencernaan. 

Di meja makan keluarga, sup bening (canh) dan mangkuk mi berkuah seperti pho sering hadir sebagai “pengikat” hidangan. Kuah memberi rasa kenyang dengan kalori relatif rendah, meski sisi negatifnya adalah natrium yang bisa tinggi, terutama pada versi komersial. Gambaran ini membuat konsumsi energi harian lebih mudah terkendali sebuah faktor yang mungkin berkontribusi menekan angka obesitas tetapi tetap menuntut kebijakan edukasi pengurangan garam demi kesehatan jantung.

Karakter rasa Vietnam juga menonjol karena keseimbangan asam, manis, gurih, pedas, dan segar. Herba seperti daun kemangi, mint, ketumbar disajikan dalam jumlah banyak sebagai sayur segar, menambah serat dan volume makanan tanpa beban kalori besar. Secara budaya, bahan segar dari pasar pagi berperan penting, sehingga makanan rumahan cenderung minim ultra-processed food dibandingkan pola makan modern yang makin meluas di kota-kota global. 

Gaya Hidup, Aktivitas, dan Mobilitas

Vietnam adalah negara yang unik dalam soal mobilitas: kepemilikan sepeda motor sangat tinggi di Kota Ho Chi Minh, riset mencatat lebih dari 700 motor per 1.000 penduduk pada 2020. Sepintas ini terlihat “mengurangi jalan kaki”, tetapi pada skala nasional, proporsi pekerjaan fisik, terutama di sektor pertanian dan manufaktur masih berarti bagi banyak penduduk dewasa. Bukti epidemiologis lama di Ho Chi Minh City juga menunjukkan porsi besar orang dewasa yang “cukup aktif” untuk kesehatan, meski data tersebut perlu dibaca bersama tren urbanisasi terbaru.

Keseharian yang terstruktur pada tiga kali makan di rumah, porsi relatif moderat, dan kebiasaan berbagi lauk juga diyakini menekan asupan kalori berlebih. Di sisi lain, kita tak boleh mengabaikan faktor yang tidak “sehat” namun berpengaruh seperti prevalensi merokok laki-laki yang historisnya tinggi di Vietnam; secara fisiologis, merokok dapat menurunkan berat badan tapi jelas berdampak buruk bagi kesehatan. Kombinasi faktor-faktor inilah yang berkelindan di balik angka obesitas yang rendah.

Transisi Gizi dan Tantangan Baru

Seperti banyak negara berpenghasilan menengah, Vietnam sedang menjalani transisi gizi. Di kota-kota besar, kemakmuran, layanan pesan-antar, dan masuknya makanan ultra-proses mendorong pergeseran pola konsumsi. Tren yang paling mengkhawatirkan adalah kenaikan berat badan pada anak dan remaja: riset nasional menunjukkan kelebihan berat badan dan obesitas usia 5–19 tahun meningkat tajam dalam satu dekade terakhir. Jika tak ditangani, “bonus demografi” dapat berbalik menjadi beban penyakit tidak menular di masa depan.

Pada saat yang sama, Vietnam masih menghadapi masalah ganda gizi (double burden): obesitas rendah di tingkat nasional berjalan berdampingan dengan riwayat underweight dan stunting pada sebagian kelompok. Analisis global NCD-RisC menegaskan bahwa negara-negara Asia Tenggara mengalami pergeseran cepat spektrum IMT, sehingga kebijakan publik harus piawai menyeimbangkan pencegahan kekurangan gizi dan kelebihan gizi sekaligus.

Data terbaru menempatkan Vietnam di jajaran negara dengan prevalensi obesitas terendah di dunia atau sekitar 2% menurut pemeringkatan internasional dengan banyak faktor budaya dan kuliner yang membantu: porsi lauk hewani kecil, dominasi sayuran dan herba segar, sup dan hidangan berkuah yang mengenyangkan, serta tradisi memasak cepat dengan sedikit lemak. 

Namun, dua peringatan besar perlu selalu disertakan. Pertama, ambang risiko kesehatan untuk populasi Asia terjadi pada IMT lebih rendah dari 30, sehingga “rendah obesitas” tidak berarti “rendah risiko”. Kedua, urbanisasi pesat, makanan ultra-proses, dan tren pada anak-remaja menunjukkan arah yang mengkhawatirkan jika tidak dicegah dengan edukasi gizi, pembatasan garam dan gula, promosi aktivitas fisik, serta kebijakan pangan sehat di sekolah dan lingkungan kerja. 

Dengan menafsirkan angka dalam konteks budaya, Vietnam memberi pelajaran bahwa pola makan tradisional bisa menjadi “penyangga” terhadap obesitas di tingkat populasi. Tantangannya adalah bagaimana menjaga penyangga tersebut tetap kuat di tengah perubahan zaman tanpa mengabaikan realitas risiko kesehatan yang khas pada populasi Asia.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Ananda Astri Dianka pada 27 Aug 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 27 Agt 2025  

Editor: Redaksi Daerah
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories