Fenomena Antre Kuliner Viral: Kenapa Banyak yang Ikut-Ikutan?

Kenapa Banyak Orang Mau Antre Panjang Demi Mencicipi Makanan Viral? (pexels.com/PROSPER MBEMBA KOUTIHOU)

JAKARTA – Dari kentang goreng FabelFriet di Amsterdam hingga donat Jepang yang sedang booming di New York, tren kuliner dunia membuat banyak orang rela menunggu hingga lebih dari satu jam demi mencicipinya.

Fenomena ini juga terlihat di Jakarta. Kawasan seperti Blok M hampir selalu dipadati antrean. Blok M dikenal sebagai salah satu spot kuliner paling populer di Jakarta, terutama bagi Gen Z. Banyak kedai di area ini mendadak viral dan menarik perhatian mereka yang penasaran ingin mencoba.

Contohnya Sarang Semut Blok M yang sempat ramai dibahas di media sosial beberapa bulan lalu karena konsepnya yang unik dan berbeda dari restoran-restoran lain di Jakarta. Namun muncul satu pertanyaan: apa yang membuat orang mau antre begitu lama hanya untuk makanan yang sedang viral?

Menurut Rachel S. Herz, asisten profesor psikiatri dan perilaku manusia di Brown University Alpert Medical School serta penulis Why You Eat What You Eat, antrean tidak hanya menandakan popularitas, tapi juga memicu sinyal psikologis yang kuat.

Rasa takut ketinggalan (FOMO) menjadi alasan utama mengapa orang bersedia menunggu makanan yang baru mereka dengar. “Untuk pengalaman yang menyenangkan, saat orang melihat banyak orang lain antre, hal itu membuat sesuatu yang sedang diantrekan terlihat lebih menarik dan memicu FOMO,” katanya, dilansir dari BBC.

Sementara, Cathrine Jansson-Boyd, profesor psikologi konsumen di Anglia Ruskin University, menjelaskan jika seseorang terus melihat lain antre berulang-ulang, perilaku ini terasa normal bahkan diharapkan dan secara halus memengaruhi cara kita merespons.

Namun kini, antrean jarang terjadi secara tidak sengaja. Sebagian orang sudah melihat makanan yang dipesan secara online sebelum tiba, dan penemuan biasanya terjadi melalui feed yang dipersonalisasi, bukan di jalanan.

Jansson-Boyd mengatakan, tekanan untuk melakukan apa yang dilakukan orang lain semakin meningkat. Ini memang mengubah kita karena kita sangat sosial, kita ingin semua orang melihat apa yang kita lakukan dan ingin melakukan apa yang dilakukan orang lain.

Namun, FOMO saja tidak menjelaskan mengapa orang-orang kini memfilmkan diri mereka sendiri saat mengantre, atau mengapa makanan menjadi latar belakang, alih-alih tujuan utama. Psikologi antrean semakin terkait dengan sesuatu yang lebih baru dan jauh lebih nyata. 

Perjalanan Sebagai Pertunjukan

Sadar atau tidak, mengantri untuk mendapatkan makanan yang sedang tren merupakan bagian dari sebuah pertunjukan yang lebih luas. Orang-orang tidak hanya menikmati makanan viral, tetapi juga merekam diri mereka saat melakukannya. Unggahan mereka selanjutnya memberi sinyal kepada orang lain bahwa mereka sedang mengalami sesuatu yang istimewa.

Mulai dari cronuts hingga croffles, hidangan viral tersebar di TikTok dan Instagram sebelum para pelancong tiba, dan jutaan orang menonton orang lain mencobanya di depan kamera. “Media sosial memberi wisatawan panggung untuk menampilkan liburan mereka,” jelas Sara Dolnicar, profesor di UQ Business School, University of Queensland.

Barbora Labudová menyaksikan pertunjukan ini setiap hari di FA Stroop Stroopwafels di Amsterdam, di mana orang-orang hingga wisatawan mengantre untuk menikmati biskuit renyah khas yang dilapisi karamel dan diberi topping stroberi atau pistachio. 

Setiap hari, ia harus meminta pelanggan yang membawa ponsel untuk tidak merekamnya saat ia menyiapkan camilan mereka. Stefan Gössling, profesor di School of Business and Economics, Linnaeus University menambahkan, Selebriti dan influencer memperkuat siklus ini.

Mereka tanpa lelah mengumpulkan modal sosial untuk mengidentifikasi tempat-tempat populer berikutnya agar tetap relevan, sementara pengikut mereka meniru perilaku aspiratif tersebut untuk menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari komunitas yang sama.

“Kecenderungan meniru ini menjadi akar dari pola perjalanan yang berulang, di mana orang pergi ke toko roti yang sama, toko donat yang sama, atau kedai burger yang sama,” ujarnya.

Selain itu, karena sebagian besar aktivitas ini kini dilakukan secara online, tempat-tempat yang dikunjungi orang tidak lagi ditemukan dengan berjalan-jalan, semuanya disajikan oleh algoritma. Hal ini tidak hanya mengubah perilaku wisatawan, tetapi juga tujuan wisata mereka.

TikTok untuk perjalanan telah menciptakan kesan bahwa semua orang menemukan tempat populer yang sama secara bersamaan, meski sebenarnya algoritma yang bekerja. Dolnicar mencatat, pencarian daring mengurangi beban kognitif para wisatawan.

“Mungkin mengantre terasa lebih mudah bagi orang-orang dibandingkan harus berusaha menemukan tempat tersembunyi yang jarang dikunjungi.”

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 09 Dec 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 09 Des 2025  

Editor: Redaksi Daerah
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories