Harga Selangit, Ternyata Nasib Petani Kelapa Sawit Tidak Semuanya Sejahtera, Ini Faktanya

Nampak seorang petani tengah melakukan panen tanaman kelapa sawit di kawasan Bogor Jawa Barat, Kamis 28 Mei 2021. (Foto : Panji Asmoro/TrenAsia)

Kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO) menjadi hal yang menggembirakan bagi petani sawit di Indonesia. Bahkan harganya bisa dikatakan mencatatkan rekor tertinggi sepanjan sejarah.

Namun di satu sisi, hal tersebut tidak serta merta membuat masyarakat senang. Karena dampaknya membuat para emak-emak galau, lantaran minyak goreng juga ikut terkerek naik.

Bukan hanya mencekik emak-emak, ternyata kenaikan harga CPO juga tak membuat petani kelapa sawit sejahtera. Padahal, CPO menjadi salah satu penyumbang surplus neraca perdagangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, surplus perdagangan Indonesia mencapai US$5,73 miliar, setara dengan Rp81,37 triliun (asumsi kurs Rp14.200 per dolar Amerika Serikat/AS) pada Oktober 2021.

Surplus terjadi karena nilai ekspor Indonesia pada Oktober mencapai US$22,03 miliar sedangkan impor mencapai US$16,29 miliar. Surplus neraca perdagangan Oktober 2021 juga meningkat 31,12% dari bulan sebelumnya yang mencapai US$4,37 miliar setara Rp61,58 triliun.

Total, Indonesia telah berhasil mencetak rekor surplus neraca perdagangan selama 18 bulan berturut-turut.

Melangitnya harga CPO salah satunya didorong oleh kenaikan harga pangan dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan, kenaikan harga pangan global pada September 2021 mencapai 32,8% alias tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

Kenaikan terjadi pada gandum, beras, jagung, dan kedelai serta beragam serealia. Karena bahan baku minyak nabati naik, sawit sebagai pengganti menerima dampak positif.

Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, ekspor CPO Agustus 2021 mencapai US$4,42 miliar. Angka itu mengalami kenaikan US$1,6 miliar, jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Salah satu negara dengan lonjakan impor besar adalah India, yang membutuhkan lebih dari 950 ribu ton CPO, padahal pada Juli mereka hanya membeli sekitar 231 ribu ton CPO dari Indonesia. Selain itu, Cina juga mengalami peningkatan besar dalam konsumsi CPO, dari sekitar 520 ribu ton pada Juli, menjadi lebih 800 ribu ton pada Agustus.

Petani Sawit Terhimpit

Nampak seorang petani tengah melakukan panen tanaman kelapa sawit di kawasan Bogor Jawa Barat, Kamis 28 Mei 2021. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia

Panen ekspor yang dicatatkan industri sawit ternyata tak serta merta mengangkat kesejahteraan petani. Justru, para petani mengaku kenaikan harga CPO berdampak kecil terhadap dunia ke petani sawit.

Hal ini diakui oleh Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto. Ia mengungkapkan, petani sawit swadaya menghadapi banyak ganjalan termasuk kebijakan pemerintah yang dinilai kurang tepat sasaran menyelesaikan permasalahan di lapangan.

Misalnya saja tengkulak, kemitraan dengan pabrik, pupuk, dana abadi sawit dan sebagainya. Kondisinya, 83% petani dengan lahan di bawah 8 hektar hanya menjual sawit ke tengkulak.

Padahal, sudah rahasia umum jika harga yang dipatok tengkulak memiliki selisih harga yang cukup besar jika dibandingkan dengan harga penetapan pemerintah.

Dia menjelaskan, meski saat ini harga sawit tinggi, tidak ada jaminan bahwa petani akan sejahtera. Masalahnya, harga tandan buah segar (TBS) sawit memang berubah dari waktu ke waktu.

"Saat ini, dengan harga ada di kisaran Rp3 ribu perkilogram TBS sawit, petani cukup terbantu. Namun ada sejumlah hal lain yang menentukan tingkat kesejahteraan petani sawit dalam jangka panjang,” kata Mansuetus dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu.

Untuk mengurai satu simpul dari benang kusut petani sawit, Mansuetus berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait pola kemitraan. Keinginan petani ini didukung oleh Manager Riset Traction Enery Asia, Ricky Amukti yang menyebut penting untuk membekali para petani sawit swadaya tentang praktek perkebunan CPO yang baik guna meningkatkan produktivitas.

“Karena sinergi yang paling tepat adalah pola kemitraan,” ungkap Ricky.

Sebab, ketika mereka bekerja sama, otomatis kebutuhan industri dapat dipasok langsung dari petani. Dengan begitu, petani bisa mendapatkan harga bagus tanpa melewati tengkulak, plus mendapatkan pendampingan terkait kualitas produk seperti apa yang dibutuhkan oleh pabrik.

“Poin penting adalah aspek kemitraan. Penjualan buah langsung ke pabrik akan mampu meningkatkatkan pendapatan petani mencapai 20-30 persen dari harga TBS saat ini. Karena harga TBS petani swadaya ditentukan oleh tengkulak. Karena itu, dengan peningkatan pendapatan petani akan memudahkan petani membeli pupuk dan meningkatkan produktivitas serta kehidupan keluarga petani,” tambah Mansuetus. (TrenAsia.com)

Editor: Sutan Kampai

Related Stories